25/08/25

“Tanah Kelahiran”

Di sinilah aku pertama kali melihat dunia. Tanah kelahiran yang sederhana namun penuh makna. Di bumi ini aku ditimang, dibesarkan, dan dididik dengan penuh kasih sayang. Setiap sudut kampung menyimpan jejak langkah kecilku, setiap jalanan mengajarkan arti perjuangan, dan setiap orang yang kutemui menjadi bagian dari perjalanan hidupku.

Di sinilah aku tumbuh, mengenal arti persahabatan, belajar tentang kehidupan, dan ditempa dengan nilai-nilai yang kelak menjadi bekal dalam perjalanan panjang. Tanah kelahiran ini bukan hanya tempat lahir, tetapi juga madrasah kehidupan yang mengajarkan arti syukur, kesederhanaan, dan kerja keras.

Namun, waktu membawa langkahku pergi. Setelah dewasa, aku harus meninggalkan kampung halaman, menuju tanah rantauan demi melanjutkan pendidikan. Ada haru, ada rindu, tapi juga ada tekad yang menguatkan hati. 

13/08/25

GERTAK MEJA, GERTAK JIWA

 Edisi Khusus Kemerdekaan (5)

Siang itu, udara di ruangan rapat kian panas. Bukan hanya karena terik yang menyelinap lewat jendela, tetapi juga karena perdebatan yang memanas tanpa henti. Kata-kata saling beradu, argumen bertubrukan, dan tak satu pun pihak bersedia bergeser dari pendiriannya. Para tokoh masyarakat Karesidenan Besuki yang hadir mencoba meyakinkan Jepang untuk angkat kaki, tetapi semua alasan mereka dipatahkan. Pemimpin Jepang berpegang pada dalih bahwa mereka menempati markas itu atas izin gubernur.


Di sudut meja, Kiai As’ad duduk tegak. Wajahnya tenang, tetapi di balik ketenangan itu, bara kemarahan berkobar. Matanya tajam, memandang lawan bicara seperti menembus lapisan keberanian semu yang diselimuti kesombongan penjajah. Lalu, suaranya pecah memenuhi ruangan, tegas dan bergemuruh, “Negeri ini milik kami, bukan milik Gubernur Belanda, bukan milik presiden, apalagi bukan milik Jepang! Kalian harus meninggalkan negeri ini! Kalau tidak, saya dan rakyat akan menyerang kalian!”


Detik berikutnya, tangannya menghantam meja. “Brak!” Suara kayu yang retak menggema seperti dentang gong perang. Meja kokoh itu kini terbelah di salah satu sisinya, kakinya menembus lantai. Semua mata terbelalak. Ruangan yang tadinya riuh seketika terbungkam. Tak seorang pun berani menatapnya. Pemimpin Jepang yang sedari tadi duduk tegak kini basah oleh keringat dingin, tubuhnya sedikit merunduk seperti kehilangan tumpuan.


Amarah Kiai As’ad bukanlah ledakan buta. Ia adalah kemarahan yang terkendali, lahir dari kesadaran penuh akan tanggung jawab moral. Dalam perspektif psikologi konseling, ini adalah bentuk moral courage — keberanian yang berakar pada nilai dan prinsip, bukan sekadar luapan emosi. Kiai As’ad tidak sedang mengumbar marah, melainkan sedang mengarahkan emosi menjadi energi untuk mengguncang keyakinan lawan.


Kata-katanya bekerja seperti terapi kejut. Dalam konseling krisis, pendekatan semacam ini digunakan untuk memutus pola pikir kaku, memaksa pihak lain melihat kenyataan dari sudut pandang yang baru. Jepang mencoba bertahan dengan argumen legalitas, tetapi Kiai As’ad menggeser panggung pembicaraan: ini bukan soal izin gubernur, ini soal kedaulatan rakyat. Dengan bingkai baru itu, ruang gerak lawan terkunci, dan semua dalih kehilangan pijakan.


Lalu ada kekuatan simbol yang tak kalah penting. Gebrakan meja itu adalah bahasa tubuh yang menggetarkan. Dalam psikologi komunikasi, simbol fisik seperti ini meninggalkan jejak emosional yang dalam — emotional imprint yang sulit dihapus. Meja yang retak menjadi tanda bahwa kekuatan batin bisa mematahkan kekuasaan yang tampak kokoh. Pesan ini tidak hanya meresap ke benak lawan, tapi juga menular ke pihak yang mendukung perjuangan.


Di luar gedung, ribuan rakyat menunggu, bersenjata clurit, kapak, pedang, dan segala yang bisa dijadikan alat perlawanan. Wajah-wajah tegang memandang ke arah pintu, menunggu aba-aba. Satu percikan bisa memicu amukan massa. Kiai As’ad tahu itu. Karena itulah gertakan di dalam ruangan tidak hanya diarahkan kepada Jepang, tetapi juga menjadi isyarat bagi rakyat bahwa pemimpinnya berdiri di garda terdepan, berbicara untuk mereka, tanpa gegabah menjerumuskan semua pada pertumpahan darah.


Keberanian Kiai As’ad adalah perpaduan langka antara command presence — kehadiran yang secara alami memerintah rasa hormat — dan empathic control — kemampuan mengendalikan emosi massa sambil menyatu dalam semangat mereka. Ia mengelola kemarahan rakyat menjadi tekanan psikologis yang terukur, sehingga lawan merasa terkepung, bukan hanya oleh jumlah orang di luar, tetapi oleh gelombang keyakinan yang dipimpin dari dalam.


Akhirnya, benteng keangkuhan itu runtuh. Pemimpin Jepang menyerah. Mereka setuju meninggalkan markas di Garahan, menyerahkan gedung dan senjata kepada rakyat. Tentara Jepang diangkut dengan truk menuju Surabaya. Semua itu terjadi tanpa satu peluru pun ditembakkan, tanpa satu nyawa pun melayang.


Inilah puncak dari apa yang dalam psikologi konseling disebut konfrontasi konstruktif: menghadap lawan secara langsung, dengan tekanan moral dan simbolik yang cukup untuk membuatnya mengubah sikap, tanpa memicu eskalasi destruktif. Kata-kata “Negeri ini milik kami” bukan sekadar slogan perlawanan, tetapi pernyataan kepemilikan batin yang melahirkan keberanian kolektif.


Dari kejadian tersebut, sebagaimana dikisahkan dalam buku Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat, kita melihat bahwa keberanian sejati bukanlah ketiadaan rasa takut. Ia adalah penguasaan diri untuk bertindak benar meski rasa takut itu hadir. Kiai As’ad memadukan spiritualitas, retorika, dan kendali emosi menjadi terapi kolektif yang menguatkan rakyat: menegakkan kepala, menolak tunduk, dan yakin bahwa kedaulatan tidak untuk ditawar.


Hari itu, di ruang rapat yang panas, bukan hanya meja yang retak. Yang runtuh adalah kesombongan penjajah, dan yang lahir adalah kesadaran baru: bahwa kemerdekaan dimulai dari keberanian untuk berkata dengan lantang, “Ini milik kami” — dan memastikan kata itu hidup dalam tindakan nyata.


Sukorejo, 13 Agustus 2025

05/08/25

Pendidikan Membantu Manusia Menemukan Kedamaian dan Kebahagiaan

 Kritik tajam terhadap sistem pendidikan yang terlalu menekankan prestasi akademik, namun abai terhadap kebahagiaan dan kesehatan mental siswa. Neill menyoroti bahwa tujuan akhir pendidikan seharusnya bukan sekadar mencetak gelar atau status sosial, melainkan membantu manusia menemukan kedamaian, kebebasan, dan makna dalam hidupnya, apapun profesinya.

Dalam masyarakat yang kerap mengukur kesuksesan dari seberapa tinggi seseorang bersekolah atau seberapa elit pekerjaannya, pandangan Neill terasa seperti perlawanan. Ia mengingatkan bahwa pendidikan yang baik bukanlah yang memaksa anak mengikuti standar sempit, melainkan yang membebaskan mereka untuk menjadi dirinya sendiri—dan merasa cukup dengan itu. Seorang penyapu jalan yang menjalani hidup dengan gembira, bangga, dan damai lebih utuh sebagai manusia daripada sarjana yang tersesat, tertekan, dan terasing dari dirinya sendiri.

Pandangan ini juga mengajarkan kita untuk lebih menghargai martabat setiap pekerjaan dan pilihan hidup. Karena ukuran keberhasilan bukan semata-mata prestise, tapi sejauh mana seseorang bisa hidup selaras dengan dirinya sendiri. Sekolah, keluarga, dan masyarakat perlu merefleksikan kembali: apakah kita mendidik anak untuk bahagia dan berdaya? Atau justru hanya menyiapkan mereka agar diterima dalam perlombaan sosial yang penuh tekanan?

21/07/25

KAWE LA NUGHUN


Oleh : Ahmad Ch

*********************

Setahun lalu, sebelum kawe berege 60, anye la ngancap-ngancap. Aku pernah nulis di Pisbuk judulnye KAWE MAHAL. Lumayan rami di like, comen, share dan subcribe hehe.

Pukuknye petani kawe awang dan lapang. Gerubuk, kersi garuda, kulkas 3 pintu, mesin cuci, tiap aghi lalu lipus depan ghumah. Ribang nian nginak cengih supir taksi sambil ngudut rukuk sampurne.

Jeme baguk, jeme ngudimi aguk, jeme ngindun, naikka rasan dindak kalah nggak rege kawe ye selalu naik, kisa di 55, 60, sampai rege tertinggi 72.

La due bulan ni rege kawe la beguyur tughun. Mulai direge 55, 50, 45, kabar terakhir la dibawah 40. Padahal musim mpai ka mulai. Amu kate tukih-tukih biase ka ngancap Agustus tughun die rege kawe. Entah tuapelah hubungan kawe nughun nggak 17 Agustus.

Waktu kawe rege mahal tahun bawah, banyak palang pule petani mbeli kebun kawe. Nak kebun tugik, kebun mbelakang kambing, asak ditawakka sambar jeme. Dik pule meghalang regenye, di pucuk 80 jiti gale. Amu li tugik pacak diiluki katenye, belikah pupuk kandang. Jadi la ade trand baru ditanah Semende ni. Kawe la mulai dipupuk nggak pupuk kandang, yang selame ini belum terpikirkan.

Prediksi

Apakah harga kopi tahun ini akan kembali ke angka 60? Harapan kite petani kawe, mintak-mintak. Tuape tu dik mungkin, amu Tuhan tulung malaikat rampe.

Kembali ke sejarah selawi taun lalu. Waktu kawe sampai rege 25 ribu. Menurut jeme calak-calak waktu itu, kawe pacak rege mahal karne Krisis Moneter. Rege-rege barang naik gale, temasuk rege kawe, mulai 7.500, 15.000 sampai harga tertinggi 25 ribu. BBM ditahun 1997-1998 juga naik dari 700 repiah naik ke 1.200 repiah.

Taun bawah kawe pacak naik karne di Brazil nggak Vietnam gagal panen akibat cuaca panas. Kabare kawe di tuju itu banyak ye mutung, laju kawe kite naik regenye. Anye kabare mbakini kawe di dusun ma Neymar tu la ngulang ringkih. Ka ngulanglah mukul agung.

Taun 1998 lame giape kawe sampai rege 25 ribu? Ternyate gi taun itulah, taun-taun berikutnye ngulang nughun. Amu nginak sejarah taun 1998 tu retinye taun ini rege kawe ni ka terusla nughun. Anye pintak kite gegale mpuk nughun jangan nughun menagh.

Jadilah kudai, masih lesu mpuk nulis rupenye amu kawe nughun.

Salam semangat petani kawe se Indonesia Raya

  

12/07/25

“TETAP SATU DALAM KHIDMAH”

Penulis : Para Staf Kamtib


Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh .

Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah yang telah mempertemukan kami dalam satu barisan perjuangan di bawah naungan Bidang Keamanan dan Ketertiban Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.

Momen ini mungkin terasa berat bagi kami semua, terutama karena harus melepas sosok yang selama ini menjadi panutan—Ka TU Kamtib kami tercinta, yang selama ini telah menunaikan amanah dengan penuh dedikasi, ketegasan, dan kekeluargaan.

Selama masa kepemimpinan beliau, kami tak hanya belajar soal ketertiban administrasi, tapi juga tentang kejelasan arah, keteguhan sikap, dan ketulusan niat dalam menjaga marwah pesantren. Tak terhitung sudah malam-malam rapat, aksi penertiban, dan dinamika internal yang selalu dibungkus dengan semangat kebersamaan. Di balik ketegasan, selalu ada kelakar ringan. Di balik target kerja, selalu ada ruang untuk saling menguatkan. Itulah yang menjadikan sosok beliau bukan hanya sebagai pimpinan, tapi juga sahabat bagi kami semua.

Kini, walau secara struktur telah berganti, semangat beliau akan tetap menjadi bagian dari napas kerja kami di Kamtib. Kami percaya bahwa keberhasilan KTU hari ini tak lepas dari keberanian untuk memulai, kesabaran dalam proses, dan keikhlasan dalam setiap pengorbanan. Dan itu akan menjadi bekal penting untuk medan pengabdian berikutnya, di manapun berada.

Kepada Ka TU yang baru, Ust. Hamid, selamat mengemban tugas. Kami siap berjalan bersama, saling mendukung, saling meneguhkan. Sebab di Kamtib, kita bukan hanya berbagi kerja, tapi juga berbagi cita dan cinta untuk kemajuan pesantren tercinta.

Akhir kata, perpisahan hanyalah tentang posisi, bukan tentang hati. Kita tetap satu dalam khidmah, tetap satu dalam cita-cita menjaga marwah dan ketertiban pesantren.

Sokarajjeh, sampek mate, sampek odik pole.

*TAKDIR, SANG PENENTU*

Penulis : Drs. HM. Rojil Ghufron

Jabatan : KABID KAMTIB

Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh 

Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam atas Rosulullah 

Tak terasa 5 tahun sudah begitu cepat berlalu kebersamaan kita.

Tentu banyak kesan yang kita rasakan baik candaan maupun tertawaan saat segala penat terlepas dalam kesibukan Khidmah di pondok pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo.

Tugas kepala Tata Usaha adalah tugas sangat penting dalam menjaga kelancaran operasional dan efisiensi dalam berbagai aspek administrasi. 

Dan selama 1 periode ini Bapak Ka. TU L. @⁨Lora Akhul Adib⁩ sudah maksimal di perannya, tak cukup sampai disitu kita semua punya peran dan tanggung jawab yang sama dalam mengamankan santri dan seluruh masyarakat Pesantren baik di hari2 biasanya maupun saat acara2 besar pesantren.

Semua itu kita lakukan untuk menjaga stabilitas pondok pesantren.

Berpindah lokasi hanya sebagai syarat formal.

Dimanakah kita ditempatkan, disitulah ladang Khidmah yang ditentukan.

Kehadirannya di rumah asal sangat diharapkan untuk memotivasi teman2 yang lain.

Pengalaman menjadi KA. TU wajib diketuk tukarkan kepada generasinya ust. @⁨Abd. Hamid.

Harapan saya tetap harus membimbingnya sampai benar2 siap mentalnya.

Kepada L. @⁨Lora Akhul Adib⁩ saya ucapkan selamat berkhidmah di dunia baru semoga sukses selalu.

Belajarlah jadi sopir traktor, siapa tahu suatu saat nanti dibutuhkan oleh masanya 😃

 Saya sebagai pimpinan di Kamtib minta maaf jika selama ini ada kata dan tingkah yg baik diaengaja maupun tak sengaja saya lakukan

Kepada Ka TU baru ust @⁨Abd. Hamid.

Tetap semangat.

Dunia baru ini bagimu jangan dijadikan beban, jadikan cambuk penyemangat untuk terus berbenah sesuai fungsi dan tanggungjawabnya.

Ibarat pernikahan, saat akad pengantin pria merasa banyak beban tapi setelah dijalani dan dinikmati semuanya berjalan mulus dan indah.

Kepada semua umanak Kamtib, mari tetap semangat dalam berkhidmah kepada pondok tercinta ini, keikhlasan dan semangat dalam pengabdian menjadi pintu dituangkannya keberkahan dari para Masyayikh Sukorejo.

_Sokarajjeh, Sampek mate Sampek odik pole_

11/07/25

Ada apa dengan profesi petani?

 

Banyak anak petani yang sukses menjadi sarjana, pengusaha, atau profesi lainnya, sementara jumlah anak petani yang melanjutkan usaha pertanian keluarga terus menurun.

Fenomena ini terjadi karena beberapa faktor berikut:

1. Penghasilan Petani Dianggap Tidak Menjamin.

Banyak anak muda melihat orang tuanya bekerja keras dari pagi hingga sore, tapi hasilnya tetap pas-pasan. Ini membuat mereka berpikir bahwa bertani tidak bisa memberi kehidupan layak atau masa depan cerah.

2. Sekolah dan Lingkungan Mendorong ke Profesi Lain.

Pendidikan di sekolah cenderung mengarahkan siswa untuk bekerja kantoran atau menjadi PNS, bukan kembali ke ladang. Bertani tidak pernah diajarkan sebagai pilihan karier yang membanggakan.

3. Gengsi dan Pandangan Sosial.

Profesi petani sering dianggap rendah atau kampungan, Banyak anak muda merasa minder kalau harus mengaku dirinya petani, apalagi jika sudah merantau atau kuliah di kota besar.

4. Kurangnya Akses ke Teknologi dan Modal.

Anak petani yang sebenarnya ingin bertani pun sering terkendala modal usaha, lahan yang sempit, dan tidak punya akses ke alat modern atau jaringan pasar. Akhirnya mereka memilih pekerjaan lain yang lebih stabil.

5. Pertanian Masih Didominasi Orang Tua.

Keputusan di sektor pertanian biasanya masih dipegang oleh orang tua. Anak muda jarang diberi ruang untuk bereksperimen atau berinovasi, sehingga mereka merasa tidak punya kendali atau peluang.

6. Kurangnya Role Model Petani Muda yang Sukses.

Media dan internet jarang menampilkan kisah petani muda sukses yang inspiratif. Padahal, jika ditampilkan, ini bisa membangkitkan semangat dan kebanggaan menjadi petani modern.

Sebagai Kesimpulan:

Anak petani bukan tidak mau jadi petani, Tapi banyak dari mereka tidak melihat jalan atau harapan dalam dunia pertanian, kecuali kita ubah cara pandang, sistem dukungan, dan kebijakan. Menjadikan Petani sebagai profesi penting dalam rantai pangan Nasional yang menjanjikan.

#anak #petani #indonesia

27/05/25

Kota Saranjana Kalimantan

 Kota Saranjana adalah sebuah kota legendaris yang diyakini pernah ada di Kalimantan, Indonesia. sejarah dan misteri Kota Saranjana:

*Sejarah:*

- Kota Saranjana diyakini pernah ada pada abad ke-14 hingga ke-16 Masehi.

- Menurut legenda, Kota Saranjana adalah ibu kota Kerajaan Sran, sebuah kerajaan yang pernah berdiri di Kalimantan.

- Kota ini diyakini memiliki kemakmuran dan kekayaan yang luar biasa, dengan bangunan-bangunan megah dan sistem pemerintahan yang canggih.

*Misteri:*

- Kota Saranjana diyakini telah hilang secara misterius, dan tidak ada bukti fisik yang jelas tentang keberadaannya.

- Beberapa teori menyebutkan bahwa Kota Saranjana mungkin telah dihancurkan oleh bencana alam, seperti gempa bumi atau banjir besar.

- Lainnya percaya bahwa Kota Saranjana mungkin telah ditelan oleh hutan belantara Kalimantan, dan keberadaannya masih belum terungkap.

Kalian ingin mencoba masuk kota saranjana ?

Mau 👍

Gak dulu deh 🙏

26/05/25

KEKUATAN YANG SALING MENGUATKAN

 Di tengah derasnya arus zaman dan derasnya individualisme yang merayap halus dalam kehidupan modern, dawuh sederhana dari Nyai Hj. Zainiyah As’ad memancarkan cahaya penuntun: "Masyarakat yang harmonis, penuh kerukunan, kedamaian, dan ketenteraman akan terwujud ketika setiap anggotanya memiliki kesadaran mendalam untuk saling memperkuat, saling menolong, dan menjunjung tinggi nilai kebersamaan."

Kalimat itu bukan sekadar petuah normatif, melainkan pancaran kearifan seorang Ibu Nyai yang membaca dinamika sosial dengan mata batin seorang pendidik, ibu, sekaligus penjaga nilai-nilai spiritual pesantren. Dalam perspektif psikologi, dawuh tersebut mencerminkan teori relasi yang sehat dan prinsip dasar dalam psikologi positif: bahwa manusia pada dasarnya makhluk sosial yang menemukan jati dirinya melalui hubungan yang saling mendukung dan bermakna.

Dalam konsep psikologi humanistik yang dikembangkan oleh Abraham Maslow dan Carl Rogers, manusia tidak hanya butuh makan, tempat tinggal, atau rasa aman. Mereka juga mendambakan belongingness—perasaan diterima dan dihargai dalam komunitasnya. Tanpa itu, seseorang akan mudah terjebak dalam kesepian yang membisu, kegelisahan yang berkepanjangan, atau bahkan depresi yang sunyi.

Nyai Zainiyah dengan sangat lembut menunjukkan bahwa kebahagiaan dan ketenteraman tidak lahir dari ego yang menang, melainkan dari hati yang siap menolong dan menguatkan. Ketika satu tangan lemah, tangan lain menguatkannya. Ketika satu jiwa gundah, jiwa-jiwa lain meneduhkannya. Di situlah harmoni tumbuh: bukan karena tidak adanya konflik, tetapi karena ada kesediaan untuk memahami, memaafkan, dan berjalan bersama.

Nilai saling mengokohkan dan menolong ini juga selaras dengan prinsip interdependensi dalam psikologi sosial. Dalam komunitas yang saling terhubung, dukungan emosional antaranggota berperan penting dalam membangun daya lenting (resiliensi) kolektif. Artinya, bukan hanya individu yang menjadi kuat, tetapi juga tatanan masyarakat secara keseluruhan menjadi tangguh menghadapi berbagai tantangan.

Dalam dunia pesantren, nilai ini tidak asing. Santri diajarkan untuk tidak hanya fokus pada capaian pribadinya, tetapi juga peduli terhadap teman seperjuangan. Jika ada yang sakit, mereka bergantian menjaga. Jika ada yang kekurangan, mereka berbagi. Tidak ada yang benar-benar sendiri. Dari santri yang baru datang hingga kiai sepuh, mereka terikat oleh tali kebersamaan yang dibangun dengan cinta, empati, dan saling percaya.

Begitu pula dalam kehidupan masyarakat luas. Bila setiap warga memiliki kesadaran untuk saling menopang, maka yang lemah tak akan dibiarkan tumbang, yang jatuh tak akan sendirian bangkit. Ini bukan hanya idealisme sosial, tetapi kebutuhan psikologis yang nyata. Kehidupan yang saling menguatkan memberikan rasa aman psikologis, meminimalkan kecemasan sosial, dan memperkuat identitas kolektif.

Dawuh Nyai Zainiyah adalah undangan untuk kembali ke akar-akar kemanusiaan kita yang paling dalam. Di dunia yang sering kali terpecah oleh perbedaan dan kepentingan, beliau mengingatkan bahwa harmoni bukan sesuatu yang lahir begitu saja. Ia adalah buah dari kesadaran, pilihan, dan upaya—untuk menjadi orang yang tak hanya hadir untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk sesamanya.

Kita tidak perlu menunggu dunia berubah. Cukup mulai dari diri sendiri. Tanyakan: sudahkah aku menguatkan orang di sekitarku hari ini?

Sukorejo, 19 Mei 2025

22/05/25

MATI DEMI NEGERI

Saya ingin mati mempertahankan dan menegakkan negara,” dawuh itu mengalir dari lisan Kiai As’ad Syamsul Arifin—ulama pejuang yang tak hanya hidup dalam lembaran sejarah, tapi juga dalam denyut nadi tanah air yang ia cintai. Ia bukan sekadar bicara, tetapi menghidupi setiap katanya dalam perjuangan nyata. Di balik kalimat sederhana itu, terpatri keteguhan jiwa dan cinta yang tak bertepi pada ibu pertiwi.

Dalam napas perjuangannya, Kiai As’ad mengajarkan bahwa mencintai negeri bukan sebatas slogan atau pekikan semangat sesaat, melainkan ikrar suci yang menuntut kesungguhan jiwa dan kesiapan berkorban. Kata-katanya bukanlah retorika, tapi suluh yang menuntun banyak jiwa: bahwa mempertahankan negara adalah tugas mulia, dan bila harus mati karenanya, maka itu bukan duka, melainkan kehormatan.

Dari kaca mata psikologi sosial, pernyataan itu mencerminkan sebuah identitas sosial yang kuat. Kiai As’ad melihat dirinya bukan sekadar individu, melainkan bagian dari sebuah bangsa yang harus dijaga dan dipertahankan. Dalam konsep self-categorization, ketika seseorang merasa menjadi bagian dari kelompok, maka kepentingan kelompok itu menjadi cerminan dirinya sendiri. Maka, Indonesia bagi Kiai As’ad bukan sekadar nama negara, tetapi jiwa dan tubuhnya sendiri.

Lebih jauh, dawuh beliau menggambarkan bentuk tertinggi dari altruism, sebuah sikap tanpa pamrih, di mana seseorang rela memberikan seluruh yang dimiliki demi keselamatan orang lain. Dalam teori evolusioner, sikap ini muncul dari dorongan melindungi kelompok yang lebih besar. Namun bagi Kiai As’ad, cinta tanah air bukan sekadar insting biologis. Ia adalah buah dari kesadaran spiritual, bahwa tanah ini telah memberinya kehidupan, dan karena itu layak untuk dibela sampai titik darah penghabisan.

Di tengah zaman yang kian sibuk dengan kepentingan diri dan ambisi pribadi, keteladanan seperti ini menjadi oase. Sebab kepemimpinan, dalam pengertian paling luhur, adalah menyalakan lilin di tengah gelap, bukan sekadar menunjukkan jalan, tapi ikut menapak meski jalannya terjal. Kiai As’ad adalah sosok pemimpin moral, yang kepemimpinannya lahir dari nilai dan teladan, bukan kekuasaan dan titah. Ia menjelma cahaya yang menuntun umat untuk mencintai negeri ini dengan hati dan tindakan.

Keberanian untuk menyatakan kesiapan mati demi negara bukanlah ekspresi kekerasan atau permusuhan. Sebaliknya, itu adalah perwujudan resilience, ketangguhan jiwa yang lahir dari keyakinan dan rasa memiliki yang utuh. Seseorang yang memiliki tujuan hidup yang luhur, sense of purpose yang kuat, akan sanggup menanggung derita perjuangan tanpa kehilangan arah. Dan Kiai As’ad menghidupi semangat itu dalam tiap langkahnya.

Dalam sorot matanya, perjuangan bukanlah tentang senjata, tapi tentang cinta. Bukan tentang benci, tapi tentang bakti. Ia menyadari bahwa negeri ini tidak akan kokoh hanya dengan undang-undang dan pidato, tetapi dengan cinta dan pengorbanan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Warisan inilah yang kini menjadi tugas kita untuk menjaganya. Dalam teori generativity yang dikemukakan oleh Erik Erikson, manusia dewasa yang matang akan terdorong untuk meninggalkan jejak nilai dan kebaikan bagi generasi berikutnya. Dan Kiai As’ad, dengan dawuhnya yang agung, telah memahatkan nilai perjuangan itu dalam jiwa bangsa ini.

Negeri ini bukan hanya tanah tempat kita berpijak, bukan sekadar tempat kita beribadah melainkan juga amanah yang mesti kita rawat. Dalam membela tanah air, kita menjaga harapan, cita-cita, dan darah para pejuang yang telah tertumpah. Kita melanjutkan doa-doa panjang yang pernah mereka panjatkan.

Dan ketika zaman terus bergulir, ketika langit negeri ini dilintasi awan-awan sejarah baru, suara itu akan tetap menggema: “Saya ingin mati mempertahankan dan menegakkan negara.” Bukan sebagai akhir, tapi sebagai awal—sebuah keabadian dalam jiwa bangsa yang tak akan pernah mati.

Sukorejo, 23 Mei 2025

Syamsul A Hasan

21/05/25

SUATU SAAT NANTI

________________

Akan tiba masanya, kita menemui hari yang tenang

Hari dimana kau menikmati apa yang selama ini kau impikan, kini membawamu pada kenyataan

Hari dimana kita bisa berbagi cerita tentang kegagalan

Menginspirasi untuk para pendengar

Memotivasi jiwa-jiwa yang sedang berjuang

Kita senantiasa berusaha bangkit dari keterpurukan

Suatu saat nanti, semuanya akan terbayar

Namun, tidaklah mengapa jika kita tidak bisa menjadi apa-apa

Setidaknya kita pernah jatuh bangun untuk menggapainya

Mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk mendapatkanya

Walaupun hasilnya tak sebanding dengan apa yang kita harapkan

Tapi kita tau bahwa Tuhan menyukai hamba-hambanya yang senantiasa berjuang 

Dan tentu saja apapun yang Tuhan takdirkan untukmu

Pastinya itulah yang terbaik

Ukir senyum di wajahmu wahai jiwa yang tangguh

Kau hebat, bisa bertahan sejauh ini dalam keadaan apapun

Sukses bukan hanya tentang banyaknya tumpukan harta yang kau dapat

Tapi sukses versi dirimu mungkin bisa menciptakan banyak senyuman bahagia dari orang-orang yang kau cintai

Juga orang-orang disekitarmu

Karena aku yakin versi sukses seseorang berbeda-beda

Nikmatilah hari itu, hari dimana kau melepas semua beban dipundakmu

Dan bersyukurlah selalu atas sekecil apapun pencapaianmu

Karena bisa jadi apa yang kamu miliki saat ini,adalah impian bagi mereka yang sedang berjuang.


#Ilham Akbar

10/05/25

Penyesalan Selalu Datang Terlambat

 Seekor ular menggigit seekor ayam dan dengan racun yang terbakar di tubuhnya, ayam itu mencari pertolongan dan perlindungan di kandang ayam.

Tetapi ayam-ayam lain lebih suka mengusirnya, takut racunnya akan menyebar di seluruh kandang.

Ayam itu lemas, menangis kesakitan. Bukan karena gigitan ular, tetapi karena pengabaian dan penghinaan keluarganya sendiri, tepat ketika dia sangat membutuhkannya.

Dan ia pun pergi, terbakar karena demam, menyeret kaki, rentan terhadap malam yang dingin.

Setiap langkah kakinya yang pelan, air matanya mengalir.

Ayam-ayam di kandang melihatnya bergerak pergi, sampai mereka melihatnya menghilang di kejauhan. 

Beberapa ayam mengatakan:

"Biarkan dia pergi; biarkan dia mati jauh dari kita."

Dan ketika ayam itu menghilang di kejauhan, mereka semua yakin bahwa dia sudah mati.

Waktu telah berlalu.

Seekor burung kolibri datang ke kandang ayam dan mengumumkan:

"Saudarimu masih hidup! Dia tinggal di gua tidak jauh dari sini.

Dia pulih, tetapi ia kehilangan satu kaki karena gigitan ular.

Dia mengalami kesulitan mencari makanan dan membutuhkan bantuan anda."

Semua ayam di kandang terdiam. Kemudian beberapa dari mereka mulai memberikan alasan-alasan masing-masing:

"Saya tidak bisa pergi, saya sedang bertelur."

"Saya tidak bisa pergi, saya mau pergi mencari jagung."

"Saya tidak bisa pergi, saya harus menjaga anak-anak saya."

Jadi, satu demi satu, mereka semua menolak untuk pergi melihat ayam yang kesakitan itu.

Burung kolibri kembali ke gua, tanpa bantuan.

Waktu berlalu lagi.

Burung kolibri itu pun kembali dengan berita menyakitkan:

"Saudarimu sudah mati. Dia meninggal sendirian di dalam gua dan tidak ada seorangpun yang mengubur atau berkabung untuknya."

Pada saat itu, ayam-ayam di kandang mulai merasa sedih. Keluhan mendalam memenuhi kandang ayam.

Mereka yang tadinya bertelur, berhenti.

Mereka yang tadinya mencari jagung, meninggalkan semuanya.

Mereka yang tadinya merawat anak-anak, sejenak melupakan anak-anak nya.

Timbullah rasa penyesalan di dalam hati mereka.

Penyesalan lebih menyakitkan daripada racun apa pun.

"Kenapa kita tidak pergi lebih awal? ", mereka bertanya.

Dan tanpa mengukur jarak atau usaha, semua ayam pergi ke gua, menangis dan mengeluh.

Sekarang mereka punya alasan untuk melihatnya, tetapi sudah terlambat.

Ketika sampai di gua, mereka sudah tidak dapat menemukan ayam itu lagi.

Mereka hanya menemukan suatu tulisan di dinding gua yang mengatakan:

"Dalam hidup, sering kali orang tidak menyeberang jalan untuk menolongmu ketika kamu masih hidup,

tetapi mereka akan menyeberangi dunia untuk melihat kuburmu ketika anda telah mati.

Dan sebagian besar air mata di kuburan bukan karena rasa sakit, tapi karena penyesalan."

#Tentang Hidup

03/05/25

BELAJAR SAMPAI KEABADIAN

Di antara jejak-jejak kebijaksanaan yang ditinggalkan Kiai As’ad Syamsul Arifin, ada satu wasiat yang terus hidup, bahkan lebih panjang dari usia. “Membaca dan belajar itu tidak boleh berhenti. Tak ada batasnya sampai masuk ke liang kubur,” ucapnya suatu hari, dalam sebuah wawancara bersama Majalah Matra.

Itu bukan sekadar nasihat. Ia adalah nyala lentera yang tak pernah padam. Sebuah ajakan untuk terus menyalakan pelita dalam diri, agar tak terjebak dalam gelapnya ketidaktahuan. Dalam bahasa psikologi, semangat ini dikenal sebagai lifelong learning — sikap batin yang senantiasa membuka jendela, walau usia kian renta dan langkah kian pelan. Inilah yang menjadikan manusia tetap hidup, bukan hanya bernapas, tapi hidup dalam kesadaran, dalam pertumbuhan, dalam jiwa yang senantiasa tajam.

Kiai As’ad bukan hanya ulama yang tenggelam dalam samudra kitab klasik. Ia juga pembaca setia koran harian, penikmat berita televisi, penelaah majalah populer. Baginya, ilmu bukan milik satu ruang. Ia tumbuh dari kitab suci, tapi juga dari kenyataan hari-hari. Tak ada tembok pemisah antara yang sakral dan yang profan. Semua adalah bagian dari jalan untuk lebih memahami ciptaan dan mendekat kepada Sang Pencipta.

Ia percaya bahwa belajar adalah bentuk ibadah, bahwa membuka buku sama nilainya dengan membuka hati kepada kebenaran. Dalam dunia psikologi kognitif, mereka yang terus belajar akan terus membangun jembatan-jembatan baru dalam otaknya. Pikiran yang lentur membuat jiwa mudah beradaptasi. Belajar bukan sekadar menampung fakta, tetapi memperkaya cara pandang terhadap dunia dan kehidupan.

Bagi Kiai As’ad, belajar bukan beban. Ia adalah kenikmatan yang tak pernah basi, mata air yang selalu segar. Setiap halaman buku yang ia baca adalah cahaya kecil yang menuntun langkahnya. Setiap ilmu baru adalah napas tambahan dalam kehidupan spiritual dan sosialnya. Ia mengajarkan bahwa belajar bukan tugas sesaat, melainkan perjalanan panjang yang tak selesai bahkan oleh kematian.

Kebodohan, kata beliau, bukan sekadar karena tak tahu. Tapi karena berhenti mencari tahu. Ketika seseorang merasa cukup dengan apa yang telah ia miliki, di situlah letak awal kejatuhannya. Sebaliknya, mereka yang terus membaca, terus bertanya, adalah mereka yang sedang menggali sumur yang tak pernah kering—sumur kebijaksanaan.

Di tengah zaman yang serba cepat dan riuh ini, di mana informasi membanjiri tanpa henti namun seringkali dangkal, pesan Kiai As’ad menjadi relevan dan penting. Belajar bukan hanya alat untuk bertahan, tapi sarana untuk tumbuh, menjadi manusia yang utuh—peka dalam perasaan, jernih dalam pikiran, tajam dalam tindakan.

Psikologi positif menegaskan, bahwa belajar memberikan makna dalam hidup. Ia menumbuhkan rasa ingin tahu yang sehat, rasa pencapaian yang dalam, dan kebahagiaan yang tak bergantung pada pujian. Belajar adalah bentuk rasa syukur paling hakiki—karena dengan ilmu, manusia menjadi lebih adil, lebih arif, dan lebih mampu mencintai dengan tulus.

Kiai As’ad telah membuktikan bahwa membaca dunia adalah bagian dari membaca ayat-ayat Tuhan. Ia menunjukkan bahwa ilmu bukan hanya untuk dunia, tetapi juga bekal menuju keabadian. Di balik setiap pemahaman baru, tersembunyi kasih sayang Ilahi bagi mereka yang bersedia berpikir dan merenung.

Di zaman yang kerap mengabaikan proses demi hasil instan, dawuh beliau adalah undangan untuk kembali menghargai perjalanan. Untuk terus membuka buku, membuka mata, dan yang paling penting: membuka hati.

Karena sejatinya, hidup ini bukan perlombaan, tapi pengembaraan. Dan selama napas masih dikandung badan, selama mata masih bisa membaca dan hati masih bisa mencerna, belajar adalah cahaya yang tak pernah padam. Sampai liang kubur. Sampai keabadian.

Sukorejo, 4 Mei 2025

15/02/25

“Saya telah membaca banyak buku, dan saya telah melupakan sebagian besarnya; Lalu apa gunanya membaca?

Ini adalah pertanyaan yang pernah diajukan seorang siswa kepada gurunya. Guru tidak menanggapi pada saat itu; Namun, setelah beberapa hari, ketika ia dan pelajar muda itu sedang duduk di dekat sungai, ia berkata bahwa ia haus dan meminta anak laki-laki itu untuk membawakannya air menggunakan saringan tua dan kotor yang terletak di tanah.

Siswa itu terkejut, karena dia tahu itu adalah permintaan yang tidak masuk akal. Akan tetapi, ia tidak dapat menentang tuannya dan setelah mengambil saringan, ia mulai melaksanakan tugas yang tidak masuk akal ini.

Setiap kali ia mencelupkan saringannya ke sungai untuk mengambil air guna dibawa kepada tuannya, ia bahkan tidak dapat melangkah ke arahnya karena tidak ada setetes air pun yang tersisa di saringan itu.

Ia mencoba dan mencoba puluhan kali, tetapi tidak peduli seberapa keras ia mencoba berlari lebih cepat dari tepi pantai menuju tuannya, air terus melewati semua lubang di saringan dan ia tersesat di sepanjang jalan.

Karena kelelahan, ia duduk di sebelah Sang Guru dan berkata: "Saya tidak dapat mengambil air melalui saringan itu; maafkan saya, Guru, itu tidak mungkin dan saya telah gagal dalam tugas saya."

“Tidak,” jawab lelaki tua itu sambil tersenyum, “kamu tidak gagal. Lihatlah saringannya, sekarang berkilau, bersih, seperti baru. Air yang merembes melalui lubang-lubangnya telah membersihkannya."

“Ketika kamu membaca buku,” lanjut Sang Guru Tua, “kamu bagaikan saringan dan buku-buku itu bagaikan air sungai. Tidak masalah jika Anda tidak dapat menyimpan dalam ingatan Anda semua air yang mengalir melalui Anda, karena buku; Namun, dengan ide-idenya, emosi, perasaan, pengetahuan..., kebenaran yang akan Anda temukan di antara halaman-halamannya, semuanya akan membersihkan pikiran dan jiwa Anda, dan menjadikan Anda pribadi yang lebih baik dan baru. "Inilah tujuan membaca."

10/02/25

👩‍🌾 BEBERAPA FAKTA TENTANG BAMBU

 ✔️1. Pertumbuhan Cepat: Bambu adalah tanaman yang tumbuh paling cepat di dunia. Telah dicatat tumbuh 47,6 inci dalam 24 jam. Beberapa spesies bahkan dapat tumbuh lebih dari satu meter per hari dalam kondisi optimal. Sebuah bambu baru mencapai ketinggian penuhnya dalam waktu kurang dari setahun.

✔️2. Pelepasan Oksigen: Bambu melepaskan oksigen 35 persen lebih banyak daripada pohon lain di luar sana.

✔️3. Penyesapan Karbon Dioksida: Bambu menyerap karbondioksida pada tingkat 17 ton per hektar setiap tahun. Ini dapat bertindak sebagai penyerap karbon yang berharga mengingat seberapa cepat tanaman tumbuh.

✔️4. Tidak perlu pupuk: Bambu tidak perlu pupuk untuk tumbuh. Ia bisa memupuk sendiri dengan menjatuhkan daun dan menggunakan nutrisi untuk tumbuh.

✔️5. Rintangan kekeringan: Bambu adalah tanaman yang toleran terhadap kekeringan. Mereka bisa tumbuh di padang pasir.

✔️6. Penggantian Kayu: Bambu dapat dipanen dalam 3-5 tahun dibandingkan dengan pohon kayu lunak yang paling banyak terjadi pada 20 hingga 30 tahun.

✔️7. Bahan Bangunan: Bambu sangat kuat dan kokoh. Telah digunakan sebagai penyangga beton serta perancah, jembatan dan rumah.

✔️8. Stabilitas Tanah: Bambu memiliki jaringan luas akar bawah tanah dan rimpang yang mencegah kerusakan tanah.

✔️9. AC Alami: Bambu mendinginkan udara di sekitarnya hingga 8 derajat di musim panas.

✔️10. Invasiveness: Beberapa spesies bambu, terutama bambu 'berlari', dapat invasif karena sistem akarnya yang luas, yang memungkinkan mereka menyebar dengan cepat. Namun, tidak semua spesies invasif, dan dengan pengelolaan yang tepat, dampak lingkungan dapat dikurangi.

✔️11. berkembang biaknya jamur Trichoderma

Terimakasih semoga #bermanfaat

“Tanah Kelahiran”

Di sinilah aku pertama kali melihat dunia. Tanah kelahiran yang sederhana namun penuh makna. Di bumi ini aku ditimang, dibesarkan, dan didid...