03/05/25

BELAJAR SAMPAI KEABADIAN

Di antara jejak-jejak kebijaksanaan yang ditinggalkan Kiai As’ad Syamsul Arifin, ada satu wasiat yang terus hidup, bahkan lebih panjang dari usia. “Membaca dan belajar itu tidak boleh berhenti. Tak ada batasnya sampai masuk ke liang kubur,” ucapnya suatu hari, dalam sebuah wawancara bersama Majalah Matra.

Itu bukan sekadar nasihat. Ia adalah nyala lentera yang tak pernah padam. Sebuah ajakan untuk terus menyalakan pelita dalam diri, agar tak terjebak dalam gelapnya ketidaktahuan. Dalam bahasa psikologi, semangat ini dikenal sebagai lifelong learning — sikap batin yang senantiasa membuka jendela, walau usia kian renta dan langkah kian pelan. Inilah yang menjadikan manusia tetap hidup, bukan hanya bernapas, tapi hidup dalam kesadaran, dalam pertumbuhan, dalam jiwa yang senantiasa tajam.

Kiai As’ad bukan hanya ulama yang tenggelam dalam samudra kitab klasik. Ia juga pembaca setia koran harian, penikmat berita televisi, penelaah majalah populer. Baginya, ilmu bukan milik satu ruang. Ia tumbuh dari kitab suci, tapi juga dari kenyataan hari-hari. Tak ada tembok pemisah antara yang sakral dan yang profan. Semua adalah bagian dari jalan untuk lebih memahami ciptaan dan mendekat kepada Sang Pencipta.

Ia percaya bahwa belajar adalah bentuk ibadah, bahwa membuka buku sama nilainya dengan membuka hati kepada kebenaran. Dalam dunia psikologi kognitif, mereka yang terus belajar akan terus membangun jembatan-jembatan baru dalam otaknya. Pikiran yang lentur membuat jiwa mudah beradaptasi. Belajar bukan sekadar menampung fakta, tetapi memperkaya cara pandang terhadap dunia dan kehidupan.

Bagi Kiai As’ad, belajar bukan beban. Ia adalah kenikmatan yang tak pernah basi, mata air yang selalu segar. Setiap halaman buku yang ia baca adalah cahaya kecil yang menuntun langkahnya. Setiap ilmu baru adalah napas tambahan dalam kehidupan spiritual dan sosialnya. Ia mengajarkan bahwa belajar bukan tugas sesaat, melainkan perjalanan panjang yang tak selesai bahkan oleh kematian.

Kebodohan, kata beliau, bukan sekadar karena tak tahu. Tapi karena berhenti mencari tahu. Ketika seseorang merasa cukup dengan apa yang telah ia miliki, di situlah letak awal kejatuhannya. Sebaliknya, mereka yang terus membaca, terus bertanya, adalah mereka yang sedang menggali sumur yang tak pernah kering—sumur kebijaksanaan.

Di tengah zaman yang serba cepat dan riuh ini, di mana informasi membanjiri tanpa henti namun seringkali dangkal, pesan Kiai As’ad menjadi relevan dan penting. Belajar bukan hanya alat untuk bertahan, tapi sarana untuk tumbuh, menjadi manusia yang utuh—peka dalam perasaan, jernih dalam pikiran, tajam dalam tindakan.

Psikologi positif menegaskan, bahwa belajar memberikan makna dalam hidup. Ia menumbuhkan rasa ingin tahu yang sehat, rasa pencapaian yang dalam, dan kebahagiaan yang tak bergantung pada pujian. Belajar adalah bentuk rasa syukur paling hakiki—karena dengan ilmu, manusia menjadi lebih adil, lebih arif, dan lebih mampu mencintai dengan tulus.

Kiai As’ad telah membuktikan bahwa membaca dunia adalah bagian dari membaca ayat-ayat Tuhan. Ia menunjukkan bahwa ilmu bukan hanya untuk dunia, tetapi juga bekal menuju keabadian. Di balik setiap pemahaman baru, tersembunyi kasih sayang Ilahi bagi mereka yang bersedia berpikir dan merenung.

Di zaman yang kerap mengabaikan proses demi hasil instan, dawuh beliau adalah undangan untuk kembali menghargai perjalanan. Untuk terus membuka buku, membuka mata, dan yang paling penting: membuka hati.

Karena sejatinya, hidup ini bukan perlombaan, tapi pengembaraan. Dan selama napas masih dikandung badan, selama mata masih bisa membaca dan hati masih bisa mencerna, belajar adalah cahaya yang tak pernah padam. Sampai liang kubur. Sampai keabadian.

Sukorejo, 4 Mei 2025

Tidak ada komentar:

“Tanah Kelahiran”

Di sinilah aku pertama kali melihat dunia. Tanah kelahiran yang sederhana namun penuh makna. Di bumi ini aku ditimang, dibesarkan, dan didid...