Di tengah derasnya arus zaman dan derasnya individualisme yang merayap halus dalam kehidupan modern, dawuh sederhana dari Nyai Hj. Zainiyah As’ad memancarkan cahaya penuntun: "Masyarakat yang harmonis, penuh kerukunan, kedamaian, dan ketenteraman akan terwujud ketika setiap anggotanya memiliki kesadaran mendalam untuk saling memperkuat, saling menolong, dan menjunjung tinggi nilai kebersamaan."
Kalimat itu bukan sekadar petuah normatif, melainkan pancaran kearifan seorang Ibu Nyai yang membaca dinamika sosial dengan mata batin seorang pendidik, ibu, sekaligus penjaga nilai-nilai spiritual pesantren. Dalam perspektif psikologi, dawuh tersebut mencerminkan teori relasi yang sehat dan prinsip dasar dalam psikologi positif: bahwa manusia pada dasarnya makhluk sosial yang menemukan jati dirinya melalui hubungan yang saling mendukung dan bermakna.
Dalam konsep psikologi humanistik yang dikembangkan oleh Abraham Maslow dan Carl Rogers, manusia tidak hanya butuh makan, tempat tinggal, atau rasa aman. Mereka juga mendambakan belongingness—perasaan diterima dan dihargai dalam komunitasnya. Tanpa itu, seseorang akan mudah terjebak dalam kesepian yang membisu, kegelisahan yang berkepanjangan, atau bahkan depresi yang sunyi.
Nyai Zainiyah dengan sangat lembut menunjukkan bahwa kebahagiaan dan ketenteraman tidak lahir dari ego yang menang, melainkan dari hati yang siap menolong dan menguatkan. Ketika satu tangan lemah, tangan lain menguatkannya. Ketika satu jiwa gundah, jiwa-jiwa lain meneduhkannya. Di situlah harmoni tumbuh: bukan karena tidak adanya konflik, tetapi karena ada kesediaan untuk memahami, memaafkan, dan berjalan bersama.
Nilai saling mengokohkan dan menolong ini juga selaras dengan prinsip interdependensi dalam psikologi sosial. Dalam komunitas yang saling terhubung, dukungan emosional antaranggota berperan penting dalam membangun daya lenting (resiliensi) kolektif. Artinya, bukan hanya individu yang menjadi kuat, tetapi juga tatanan masyarakat secara keseluruhan menjadi tangguh menghadapi berbagai tantangan.
Dalam dunia pesantren, nilai ini tidak asing. Santri diajarkan untuk tidak hanya fokus pada capaian pribadinya, tetapi juga peduli terhadap teman seperjuangan. Jika ada yang sakit, mereka bergantian menjaga. Jika ada yang kekurangan, mereka berbagi. Tidak ada yang benar-benar sendiri. Dari santri yang baru datang hingga kiai sepuh, mereka terikat oleh tali kebersamaan yang dibangun dengan cinta, empati, dan saling percaya.
Begitu pula dalam kehidupan masyarakat luas. Bila setiap warga memiliki kesadaran untuk saling menopang, maka yang lemah tak akan dibiarkan tumbang, yang jatuh tak akan sendirian bangkit. Ini bukan hanya idealisme sosial, tetapi kebutuhan psikologis yang nyata. Kehidupan yang saling menguatkan memberikan rasa aman psikologis, meminimalkan kecemasan sosial, dan memperkuat identitas kolektif.
Dawuh Nyai Zainiyah adalah undangan untuk kembali ke akar-akar kemanusiaan kita yang paling dalam. Di dunia yang sering kali terpecah oleh perbedaan dan kepentingan, beliau mengingatkan bahwa harmoni bukan sesuatu yang lahir begitu saja. Ia adalah buah dari kesadaran, pilihan, dan upaya—untuk menjadi orang yang tak hanya hadir untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk sesamanya.
Kita tidak perlu menunggu dunia berubah. Cukup mulai dari diri sendiri. Tanyakan: sudahkah aku menguatkan orang di sekitarku hari ini?
Sukorejo, 19 Mei 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar