Saya ingin mati mempertahankan dan menegakkan negara,” dawuh itu mengalir dari lisan Kiai As’ad Syamsul Arifin—ulama pejuang yang tak hanya hidup dalam lembaran sejarah, tapi juga dalam denyut nadi tanah air yang ia cintai. Ia bukan sekadar bicara, tetapi menghidupi setiap katanya dalam perjuangan nyata. Di balik kalimat sederhana itu, terpatri keteguhan jiwa dan cinta yang tak bertepi pada ibu pertiwi.
Dalam napas perjuangannya, Kiai As’ad mengajarkan bahwa mencintai negeri bukan sebatas slogan atau pekikan semangat sesaat, melainkan ikrar suci yang menuntut kesungguhan jiwa dan kesiapan berkorban. Kata-katanya bukanlah retorika, tapi suluh yang menuntun banyak jiwa: bahwa mempertahankan negara adalah tugas mulia, dan bila harus mati karenanya, maka itu bukan duka, melainkan kehormatan.
Dari kaca mata psikologi sosial, pernyataan itu mencerminkan sebuah identitas sosial yang kuat. Kiai As’ad melihat dirinya bukan sekadar individu, melainkan bagian dari sebuah bangsa yang harus dijaga dan dipertahankan. Dalam konsep self-categorization, ketika seseorang merasa menjadi bagian dari kelompok, maka kepentingan kelompok itu menjadi cerminan dirinya sendiri. Maka, Indonesia bagi Kiai As’ad bukan sekadar nama negara, tetapi jiwa dan tubuhnya sendiri.
Lebih jauh, dawuh beliau menggambarkan bentuk tertinggi dari altruism, sebuah sikap tanpa pamrih, di mana seseorang rela memberikan seluruh yang dimiliki demi keselamatan orang lain. Dalam teori evolusioner, sikap ini muncul dari dorongan melindungi kelompok yang lebih besar. Namun bagi Kiai As’ad, cinta tanah air bukan sekadar insting biologis. Ia adalah buah dari kesadaran spiritual, bahwa tanah ini telah memberinya kehidupan, dan karena itu layak untuk dibela sampai titik darah penghabisan.
Di tengah zaman yang kian sibuk dengan kepentingan diri dan ambisi pribadi, keteladanan seperti ini menjadi oase. Sebab kepemimpinan, dalam pengertian paling luhur, adalah menyalakan lilin di tengah gelap, bukan sekadar menunjukkan jalan, tapi ikut menapak meski jalannya terjal. Kiai As’ad adalah sosok pemimpin moral, yang kepemimpinannya lahir dari nilai dan teladan, bukan kekuasaan dan titah. Ia menjelma cahaya yang menuntun umat untuk mencintai negeri ini dengan hati dan tindakan.
Keberanian untuk menyatakan kesiapan mati demi negara bukanlah ekspresi kekerasan atau permusuhan. Sebaliknya, itu adalah perwujudan resilience, ketangguhan jiwa yang lahir dari keyakinan dan rasa memiliki yang utuh. Seseorang yang memiliki tujuan hidup yang luhur, sense of purpose yang kuat, akan sanggup menanggung derita perjuangan tanpa kehilangan arah. Dan Kiai As’ad menghidupi semangat itu dalam tiap langkahnya.
Dalam sorot matanya, perjuangan bukanlah tentang senjata, tapi tentang cinta. Bukan tentang benci, tapi tentang bakti. Ia menyadari bahwa negeri ini tidak akan kokoh hanya dengan undang-undang dan pidato, tetapi dengan cinta dan pengorbanan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Warisan inilah yang kini menjadi tugas kita untuk menjaganya. Dalam teori generativity yang dikemukakan oleh Erik Erikson, manusia dewasa yang matang akan terdorong untuk meninggalkan jejak nilai dan kebaikan bagi generasi berikutnya. Dan Kiai As’ad, dengan dawuhnya yang agung, telah memahatkan nilai perjuangan itu dalam jiwa bangsa ini.
Negeri ini bukan hanya tanah tempat kita berpijak, bukan sekadar tempat kita beribadah melainkan juga amanah yang mesti kita rawat. Dalam membela tanah air, kita menjaga harapan, cita-cita, dan darah para pejuang yang telah tertumpah. Kita melanjutkan doa-doa panjang yang pernah mereka panjatkan.
Dan ketika zaman terus bergulir, ketika langit negeri ini dilintasi awan-awan sejarah baru, suara itu akan tetap menggema: “Saya ingin mati mempertahankan dan menegakkan negara.” Bukan sebagai akhir, tapi sebagai awal—sebuah keabadian dalam jiwa bangsa yang tak akan pernah mati.
Sukorejo, 23 Mei 2025
Syamsul A Hasan

Tidak ada komentar:
Posting Komentar