27/05/25

Kota Saranjana Kalimantan

 Kota Saranjana adalah sebuah kota legendaris yang diyakini pernah ada di Kalimantan, Indonesia. sejarah dan misteri Kota Saranjana:

*Sejarah:*

- Kota Saranjana diyakini pernah ada pada abad ke-14 hingga ke-16 Masehi.

- Menurut legenda, Kota Saranjana adalah ibu kota Kerajaan Sran, sebuah kerajaan yang pernah berdiri di Kalimantan.

- Kota ini diyakini memiliki kemakmuran dan kekayaan yang luar biasa, dengan bangunan-bangunan megah dan sistem pemerintahan yang canggih.

*Misteri:*

- Kota Saranjana diyakini telah hilang secara misterius, dan tidak ada bukti fisik yang jelas tentang keberadaannya.

- Beberapa teori menyebutkan bahwa Kota Saranjana mungkin telah dihancurkan oleh bencana alam, seperti gempa bumi atau banjir besar.

- Lainnya percaya bahwa Kota Saranjana mungkin telah ditelan oleh hutan belantara Kalimantan, dan keberadaannya masih belum terungkap.

Kalian ingin mencoba masuk kota saranjana ?

Mau 👍

Gak dulu deh 🙏

26/05/25

KEKUATAN YANG SALING MENGUATKAN

 Di tengah derasnya arus zaman dan derasnya individualisme yang merayap halus dalam kehidupan modern, dawuh sederhana dari Nyai Hj. Zainiyah As’ad memancarkan cahaya penuntun: "Masyarakat yang harmonis, penuh kerukunan, kedamaian, dan ketenteraman akan terwujud ketika setiap anggotanya memiliki kesadaran mendalam untuk saling memperkuat, saling menolong, dan menjunjung tinggi nilai kebersamaan."

Kalimat itu bukan sekadar petuah normatif, melainkan pancaran kearifan seorang Ibu Nyai yang membaca dinamika sosial dengan mata batin seorang pendidik, ibu, sekaligus penjaga nilai-nilai spiritual pesantren. Dalam perspektif psikologi, dawuh tersebut mencerminkan teori relasi yang sehat dan prinsip dasar dalam psikologi positif: bahwa manusia pada dasarnya makhluk sosial yang menemukan jati dirinya melalui hubungan yang saling mendukung dan bermakna.

Dalam konsep psikologi humanistik yang dikembangkan oleh Abraham Maslow dan Carl Rogers, manusia tidak hanya butuh makan, tempat tinggal, atau rasa aman. Mereka juga mendambakan belongingness—perasaan diterima dan dihargai dalam komunitasnya. Tanpa itu, seseorang akan mudah terjebak dalam kesepian yang membisu, kegelisahan yang berkepanjangan, atau bahkan depresi yang sunyi.

Nyai Zainiyah dengan sangat lembut menunjukkan bahwa kebahagiaan dan ketenteraman tidak lahir dari ego yang menang, melainkan dari hati yang siap menolong dan menguatkan. Ketika satu tangan lemah, tangan lain menguatkannya. Ketika satu jiwa gundah, jiwa-jiwa lain meneduhkannya. Di situlah harmoni tumbuh: bukan karena tidak adanya konflik, tetapi karena ada kesediaan untuk memahami, memaafkan, dan berjalan bersama.

Nilai saling mengokohkan dan menolong ini juga selaras dengan prinsip interdependensi dalam psikologi sosial. Dalam komunitas yang saling terhubung, dukungan emosional antaranggota berperan penting dalam membangun daya lenting (resiliensi) kolektif. Artinya, bukan hanya individu yang menjadi kuat, tetapi juga tatanan masyarakat secara keseluruhan menjadi tangguh menghadapi berbagai tantangan.

Dalam dunia pesantren, nilai ini tidak asing. Santri diajarkan untuk tidak hanya fokus pada capaian pribadinya, tetapi juga peduli terhadap teman seperjuangan. Jika ada yang sakit, mereka bergantian menjaga. Jika ada yang kekurangan, mereka berbagi. Tidak ada yang benar-benar sendiri. Dari santri yang baru datang hingga kiai sepuh, mereka terikat oleh tali kebersamaan yang dibangun dengan cinta, empati, dan saling percaya.

Begitu pula dalam kehidupan masyarakat luas. Bila setiap warga memiliki kesadaran untuk saling menopang, maka yang lemah tak akan dibiarkan tumbang, yang jatuh tak akan sendirian bangkit. Ini bukan hanya idealisme sosial, tetapi kebutuhan psikologis yang nyata. Kehidupan yang saling menguatkan memberikan rasa aman psikologis, meminimalkan kecemasan sosial, dan memperkuat identitas kolektif.

Dawuh Nyai Zainiyah adalah undangan untuk kembali ke akar-akar kemanusiaan kita yang paling dalam. Di dunia yang sering kali terpecah oleh perbedaan dan kepentingan, beliau mengingatkan bahwa harmoni bukan sesuatu yang lahir begitu saja. Ia adalah buah dari kesadaran, pilihan, dan upaya—untuk menjadi orang yang tak hanya hadir untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk sesamanya.

Kita tidak perlu menunggu dunia berubah. Cukup mulai dari diri sendiri. Tanyakan: sudahkah aku menguatkan orang di sekitarku hari ini?

Sukorejo, 19 Mei 2025

22/05/25

MATI DEMI NEGERI

Saya ingin mati mempertahankan dan menegakkan negara,” dawuh itu mengalir dari lisan Kiai As’ad Syamsul Arifin—ulama pejuang yang tak hanya hidup dalam lembaran sejarah, tapi juga dalam denyut nadi tanah air yang ia cintai. Ia bukan sekadar bicara, tetapi menghidupi setiap katanya dalam perjuangan nyata. Di balik kalimat sederhana itu, terpatri keteguhan jiwa dan cinta yang tak bertepi pada ibu pertiwi.

Dalam napas perjuangannya, Kiai As’ad mengajarkan bahwa mencintai negeri bukan sebatas slogan atau pekikan semangat sesaat, melainkan ikrar suci yang menuntut kesungguhan jiwa dan kesiapan berkorban. Kata-katanya bukanlah retorika, tapi suluh yang menuntun banyak jiwa: bahwa mempertahankan negara adalah tugas mulia, dan bila harus mati karenanya, maka itu bukan duka, melainkan kehormatan.

Dari kaca mata psikologi sosial, pernyataan itu mencerminkan sebuah identitas sosial yang kuat. Kiai As’ad melihat dirinya bukan sekadar individu, melainkan bagian dari sebuah bangsa yang harus dijaga dan dipertahankan. Dalam konsep self-categorization, ketika seseorang merasa menjadi bagian dari kelompok, maka kepentingan kelompok itu menjadi cerminan dirinya sendiri. Maka, Indonesia bagi Kiai As’ad bukan sekadar nama negara, tetapi jiwa dan tubuhnya sendiri.

Lebih jauh, dawuh beliau menggambarkan bentuk tertinggi dari altruism, sebuah sikap tanpa pamrih, di mana seseorang rela memberikan seluruh yang dimiliki demi keselamatan orang lain. Dalam teori evolusioner, sikap ini muncul dari dorongan melindungi kelompok yang lebih besar. Namun bagi Kiai As’ad, cinta tanah air bukan sekadar insting biologis. Ia adalah buah dari kesadaran spiritual, bahwa tanah ini telah memberinya kehidupan, dan karena itu layak untuk dibela sampai titik darah penghabisan.

Di tengah zaman yang kian sibuk dengan kepentingan diri dan ambisi pribadi, keteladanan seperti ini menjadi oase. Sebab kepemimpinan, dalam pengertian paling luhur, adalah menyalakan lilin di tengah gelap, bukan sekadar menunjukkan jalan, tapi ikut menapak meski jalannya terjal. Kiai As’ad adalah sosok pemimpin moral, yang kepemimpinannya lahir dari nilai dan teladan, bukan kekuasaan dan titah. Ia menjelma cahaya yang menuntun umat untuk mencintai negeri ini dengan hati dan tindakan.

Keberanian untuk menyatakan kesiapan mati demi negara bukanlah ekspresi kekerasan atau permusuhan. Sebaliknya, itu adalah perwujudan resilience, ketangguhan jiwa yang lahir dari keyakinan dan rasa memiliki yang utuh. Seseorang yang memiliki tujuan hidup yang luhur, sense of purpose yang kuat, akan sanggup menanggung derita perjuangan tanpa kehilangan arah. Dan Kiai As’ad menghidupi semangat itu dalam tiap langkahnya.

Dalam sorot matanya, perjuangan bukanlah tentang senjata, tapi tentang cinta. Bukan tentang benci, tapi tentang bakti. Ia menyadari bahwa negeri ini tidak akan kokoh hanya dengan undang-undang dan pidato, tetapi dengan cinta dan pengorbanan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Warisan inilah yang kini menjadi tugas kita untuk menjaganya. Dalam teori generativity yang dikemukakan oleh Erik Erikson, manusia dewasa yang matang akan terdorong untuk meninggalkan jejak nilai dan kebaikan bagi generasi berikutnya. Dan Kiai As’ad, dengan dawuhnya yang agung, telah memahatkan nilai perjuangan itu dalam jiwa bangsa ini.

Negeri ini bukan hanya tanah tempat kita berpijak, bukan sekadar tempat kita beribadah melainkan juga amanah yang mesti kita rawat. Dalam membela tanah air, kita menjaga harapan, cita-cita, dan darah para pejuang yang telah tertumpah. Kita melanjutkan doa-doa panjang yang pernah mereka panjatkan.

Dan ketika zaman terus bergulir, ketika langit negeri ini dilintasi awan-awan sejarah baru, suara itu akan tetap menggema: “Saya ingin mati mempertahankan dan menegakkan negara.” Bukan sebagai akhir, tapi sebagai awal—sebuah keabadian dalam jiwa bangsa yang tak akan pernah mati.

Sukorejo, 23 Mei 2025

Syamsul A Hasan

21/05/25

SUATU SAAT NANTI

________________

Akan tiba masanya, kita menemui hari yang tenang

Hari dimana kau menikmati apa yang selama ini kau impikan, kini membawamu pada kenyataan

Hari dimana kita bisa berbagi cerita tentang kegagalan

Menginspirasi untuk para pendengar

Memotivasi jiwa-jiwa yang sedang berjuang

Kita senantiasa berusaha bangkit dari keterpurukan

Suatu saat nanti, semuanya akan terbayar

Namun, tidaklah mengapa jika kita tidak bisa menjadi apa-apa

Setidaknya kita pernah jatuh bangun untuk menggapainya

Mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk mendapatkanya

Walaupun hasilnya tak sebanding dengan apa yang kita harapkan

Tapi kita tau bahwa Tuhan menyukai hamba-hambanya yang senantiasa berjuang 

Dan tentu saja apapun yang Tuhan takdirkan untukmu

Pastinya itulah yang terbaik

Ukir senyum di wajahmu wahai jiwa yang tangguh

Kau hebat, bisa bertahan sejauh ini dalam keadaan apapun

Sukses bukan hanya tentang banyaknya tumpukan harta yang kau dapat

Tapi sukses versi dirimu mungkin bisa menciptakan banyak senyuman bahagia dari orang-orang yang kau cintai

Juga orang-orang disekitarmu

Karena aku yakin versi sukses seseorang berbeda-beda

Nikmatilah hari itu, hari dimana kau melepas semua beban dipundakmu

Dan bersyukurlah selalu atas sekecil apapun pencapaianmu

Karena bisa jadi apa yang kamu miliki saat ini,adalah impian bagi mereka yang sedang berjuang.


#Ilham Akbar

10/05/25

Penyesalan Selalu Datang Terlambat

 Seekor ular menggigit seekor ayam dan dengan racun yang terbakar di tubuhnya, ayam itu mencari pertolongan dan perlindungan di kandang ayam.

Tetapi ayam-ayam lain lebih suka mengusirnya, takut racunnya akan menyebar di seluruh kandang.

Ayam itu lemas, menangis kesakitan. Bukan karena gigitan ular, tetapi karena pengabaian dan penghinaan keluarganya sendiri, tepat ketika dia sangat membutuhkannya.

Dan ia pun pergi, terbakar karena demam, menyeret kaki, rentan terhadap malam yang dingin.

Setiap langkah kakinya yang pelan, air matanya mengalir.

Ayam-ayam di kandang melihatnya bergerak pergi, sampai mereka melihatnya menghilang di kejauhan. 

Beberapa ayam mengatakan:

"Biarkan dia pergi; biarkan dia mati jauh dari kita."

Dan ketika ayam itu menghilang di kejauhan, mereka semua yakin bahwa dia sudah mati.

Waktu telah berlalu.

Seekor burung kolibri datang ke kandang ayam dan mengumumkan:

"Saudarimu masih hidup! Dia tinggal di gua tidak jauh dari sini.

Dia pulih, tetapi ia kehilangan satu kaki karena gigitan ular.

Dia mengalami kesulitan mencari makanan dan membutuhkan bantuan anda."

Semua ayam di kandang terdiam. Kemudian beberapa dari mereka mulai memberikan alasan-alasan masing-masing:

"Saya tidak bisa pergi, saya sedang bertelur."

"Saya tidak bisa pergi, saya mau pergi mencari jagung."

"Saya tidak bisa pergi, saya harus menjaga anak-anak saya."

Jadi, satu demi satu, mereka semua menolak untuk pergi melihat ayam yang kesakitan itu.

Burung kolibri kembali ke gua, tanpa bantuan.

Waktu berlalu lagi.

Burung kolibri itu pun kembali dengan berita menyakitkan:

"Saudarimu sudah mati. Dia meninggal sendirian di dalam gua dan tidak ada seorangpun yang mengubur atau berkabung untuknya."

Pada saat itu, ayam-ayam di kandang mulai merasa sedih. Keluhan mendalam memenuhi kandang ayam.

Mereka yang tadinya bertelur, berhenti.

Mereka yang tadinya mencari jagung, meninggalkan semuanya.

Mereka yang tadinya merawat anak-anak, sejenak melupakan anak-anak nya.

Timbullah rasa penyesalan di dalam hati mereka.

Penyesalan lebih menyakitkan daripada racun apa pun.

"Kenapa kita tidak pergi lebih awal? ", mereka bertanya.

Dan tanpa mengukur jarak atau usaha, semua ayam pergi ke gua, menangis dan mengeluh.

Sekarang mereka punya alasan untuk melihatnya, tetapi sudah terlambat.

Ketika sampai di gua, mereka sudah tidak dapat menemukan ayam itu lagi.

Mereka hanya menemukan suatu tulisan di dinding gua yang mengatakan:

"Dalam hidup, sering kali orang tidak menyeberang jalan untuk menolongmu ketika kamu masih hidup,

tetapi mereka akan menyeberangi dunia untuk melihat kuburmu ketika anda telah mati.

Dan sebagian besar air mata di kuburan bukan karena rasa sakit, tapi karena penyesalan."

#Tentang Hidup

03/05/25

BELAJAR SAMPAI KEABADIAN

Di antara jejak-jejak kebijaksanaan yang ditinggalkan Kiai As’ad Syamsul Arifin, ada satu wasiat yang terus hidup, bahkan lebih panjang dari usia. “Membaca dan belajar itu tidak boleh berhenti. Tak ada batasnya sampai masuk ke liang kubur,” ucapnya suatu hari, dalam sebuah wawancara bersama Majalah Matra.

Itu bukan sekadar nasihat. Ia adalah nyala lentera yang tak pernah padam. Sebuah ajakan untuk terus menyalakan pelita dalam diri, agar tak terjebak dalam gelapnya ketidaktahuan. Dalam bahasa psikologi, semangat ini dikenal sebagai lifelong learning — sikap batin yang senantiasa membuka jendela, walau usia kian renta dan langkah kian pelan. Inilah yang menjadikan manusia tetap hidup, bukan hanya bernapas, tapi hidup dalam kesadaran, dalam pertumbuhan, dalam jiwa yang senantiasa tajam.

Kiai As’ad bukan hanya ulama yang tenggelam dalam samudra kitab klasik. Ia juga pembaca setia koran harian, penikmat berita televisi, penelaah majalah populer. Baginya, ilmu bukan milik satu ruang. Ia tumbuh dari kitab suci, tapi juga dari kenyataan hari-hari. Tak ada tembok pemisah antara yang sakral dan yang profan. Semua adalah bagian dari jalan untuk lebih memahami ciptaan dan mendekat kepada Sang Pencipta.

Ia percaya bahwa belajar adalah bentuk ibadah, bahwa membuka buku sama nilainya dengan membuka hati kepada kebenaran. Dalam dunia psikologi kognitif, mereka yang terus belajar akan terus membangun jembatan-jembatan baru dalam otaknya. Pikiran yang lentur membuat jiwa mudah beradaptasi. Belajar bukan sekadar menampung fakta, tetapi memperkaya cara pandang terhadap dunia dan kehidupan.

Bagi Kiai As’ad, belajar bukan beban. Ia adalah kenikmatan yang tak pernah basi, mata air yang selalu segar. Setiap halaman buku yang ia baca adalah cahaya kecil yang menuntun langkahnya. Setiap ilmu baru adalah napas tambahan dalam kehidupan spiritual dan sosialnya. Ia mengajarkan bahwa belajar bukan tugas sesaat, melainkan perjalanan panjang yang tak selesai bahkan oleh kematian.

Kebodohan, kata beliau, bukan sekadar karena tak tahu. Tapi karena berhenti mencari tahu. Ketika seseorang merasa cukup dengan apa yang telah ia miliki, di situlah letak awal kejatuhannya. Sebaliknya, mereka yang terus membaca, terus bertanya, adalah mereka yang sedang menggali sumur yang tak pernah kering—sumur kebijaksanaan.

Di tengah zaman yang serba cepat dan riuh ini, di mana informasi membanjiri tanpa henti namun seringkali dangkal, pesan Kiai As’ad menjadi relevan dan penting. Belajar bukan hanya alat untuk bertahan, tapi sarana untuk tumbuh, menjadi manusia yang utuh—peka dalam perasaan, jernih dalam pikiran, tajam dalam tindakan.

Psikologi positif menegaskan, bahwa belajar memberikan makna dalam hidup. Ia menumbuhkan rasa ingin tahu yang sehat, rasa pencapaian yang dalam, dan kebahagiaan yang tak bergantung pada pujian. Belajar adalah bentuk rasa syukur paling hakiki—karena dengan ilmu, manusia menjadi lebih adil, lebih arif, dan lebih mampu mencintai dengan tulus.

Kiai As’ad telah membuktikan bahwa membaca dunia adalah bagian dari membaca ayat-ayat Tuhan. Ia menunjukkan bahwa ilmu bukan hanya untuk dunia, tetapi juga bekal menuju keabadian. Di balik setiap pemahaman baru, tersembunyi kasih sayang Ilahi bagi mereka yang bersedia berpikir dan merenung.

Di zaman yang kerap mengabaikan proses demi hasil instan, dawuh beliau adalah undangan untuk kembali menghargai perjalanan. Untuk terus membuka buku, membuka mata, dan yang paling penting: membuka hati.

Karena sejatinya, hidup ini bukan perlombaan, tapi pengembaraan. Dan selama napas masih dikandung badan, selama mata masih bisa membaca dan hati masih bisa mencerna, belajar adalah cahaya yang tak pernah padam. Sampai liang kubur. Sampai keabadian.

Sukorejo, 4 Mei 2025

“Tanah Kelahiran”

Di sinilah aku pertama kali melihat dunia. Tanah kelahiran yang sederhana namun penuh makna. Di bumi ini aku ditimang, dibesarkan, dan didid...