”Tapa-e jiwa kalian dengan memperbanyak riyadhah.” Begitulah dawuh Kiai As’ad kepada para santrinya, sebagaimana dalam buku Wejangan Kiai As’ad dan Kiai Fawaid.
Kiai As’ad berharap agar santrinya menyucikan jiwanya dengan memperbanyak tirakat. Tirakat ini termasuk pembentukan mental dan karakter para santri, yang oleh kalangan pesantren dikenal dengan istilah penanaman jiwa tauhid dan akhlakul karimah. Para santri diajari hidup sederhana, menjalani laku tirakat, dan hidup mandiri. Para santri diwajibkan hidup bersama-sama sependeritaan
Dawuh Kiai As'ad tentang pentingnya riyadhah (latihan spiritual dan pengendalian diri) sebagai cara menyucikan jiwa dan membentuk karakter santri mencerminkan pendekatan yang sangat relevan dalam membangun kesejahteraan psikologis.
Kesejahteraan psikologis yang mendalam, menurut Carol Ryff, disebut sebagai eudaimonic well-being. Ini melibatkan realisasi potensi diri dan pencapaian makna hidup, yang sangat selaras dengan tujuan riyadhah.
Dengan tirakat, santri belajar menerima keadaan hidup yang sederhana, sehingga mampu mengenali kelebihan dan kekurangan dirinya tanpa merasa rendah diri. Dalam kesejahteraan psikologi hal ini dinamakan self-acceptance atau penerimaan diri. Proses menyucikan jiwa dan menghadapi tantangan hidup secara mandiri membantu santri mengembangkan karakter yang matang atau dikenal dengan proses personal growth (pertumbuhan pribadi).
Hidup sederhana dan berbagi penderitaan dengan sesama menciptakan rasa kebersamaan dan menanamkan nilai-nilai yang berorientasi pada makna, bukan materi.
Melalui tirakat, santri dihadapkan pada situasi yang menantang seperti kesederhanaan hidup dan laku prihatin. Hal ini mendorong resiliensi psikologis, yaitu kemampuan untuk bangkit dari kesulitan. Santri belajar bertahan di tengah keterbatasan, yang memperkuat kemampuan mereka menghadapi tantangan di masa depan. Latihan spiritual yang dijalani membantu mengembangkan kontrol emosi dan perilaku, yang penting untuk menjaga stabilitas psikologis.
Hidup bersama dan sependeritaan mengajarkan santri untuk menghargai hubungan interpersonal. Santri belajar bekerja sama, berbagi, dan saling mendukung dalam lingkungan yang penuh tantangan. Hidup bersama dan sependeritaan mengajarkan santri untuk mengembangkan empati; melalui pengalaman hidup bersama, santri diajarkan untuk memahami penderitaan orang lain dan membangun rasa kasih sayang yang mendalam. Menurut penelitian psikologi sosial, hubungan interpersonal yang positif berkontribusi besar pada kesejahteraan psikologis seseorang.
Praktik riyadhah, seperti tirakat dan kehidupan sederhana, mendekati konsep mindfulness dalam psikologi modern. Praktik ini melibatkan kesadaran terhadap diri dan lingkungan. Santri diajak untuk hidup lebih sadar dan menghargai setiap pengalaman, baik suka maupun duka.
Riyadhah membantu santri melatih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting, seperti nilai spiritual dan hubungan dengan Allah. Hal ini mendukung kesejahteraan mental dengan mengurangi stres dan meningkatkan kapasitas untuk menghadapi tekanan.
Penanaman jiwa tauhid dan akhlakul karimah dalam riyadhah memberikan dimensi spiritual yang kuat pada kesejahteraan psikologis. Melalui tauhid, santri diajak untuk melihat kehidupan sebagai bagian dari ibadah kepada Allah, yang memberikan makna mendalam. Dengan menanamkan akhlakul karimah seperti kesabaran, kejujuran, dan keikhlasan, santri mengembangkan kestabilan emosi dan kedamaian batin.
Dalam psikologi, memiliki tujuan hidup dan hubungan yang kuat dengan nilai-nilai spiritual berkontribusi besar pada subjective well-being.
Dengan demikian dawuh Kiai As'ad tentang memperbanyak riyadhah tidak hanya berfungsi sebagai penguatan spiritual tetapi juga sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis. Melalui tirakat, santri tidak hanya mengembangkan resiliensi, mindfulness, dan pengendalian diri tetapi juga memperkuat hubungan sosial, menemukan makna hidup, dan mencapai kedamaian batin. Semua ini adalah pilar utama kesejahteraan psikologis yang holistik.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar