REKONTRUKSI NILAI-NILAI KARAKTER ALA PESANTREN
Salah satu yang menjadi indikator sebuah negara dikatakan sebagai
negara maju dapat dilihat dari faktor pendidikannya. Pendidikan dapat
menentukan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam membangun
manusia yang berkualitas tidak hanya berpaku pada aspek kognitifnya saja, melainkan
juga dari aspek psikomotorik dan afektifnya. Seharusnya pendidikan bukan hanya terpaku pada intelektual yang dimiliki
seseorang saat menempuh pendidikan, namun juga harus diintegrasikan dengan
faktor lain seperti halnya prilaku atau karakter. Jadi pendidikan tidak hanya
mendidik peserta didiknya untuk menjadi manusia yang cerdas, tetapi juga
membangun kepribadiannya agar mempunyai sikap yang mulia. Dari sini terlihat bahwa dalam sebuah
pendidikan jelas melibatkan keduanya yang harus berjalan bersamaan untuk
membentuk manusia berintelektual tinggi yang mempunyai karakter mulia dalam
jiwanya.
Mengingat
begitu urgennya karakter, maka pelaksana pendidikan memiliki tanggung jawab
untuk menanamkannya melalui proses pembelajaran dan pengaplikasiannya. Pentingnya pendidikan karakter tidak lepas dari munculnya beberapa
fenomena sosial saat ini, yang ditunjukkan dengan perilaku yang tidak
berkarakter serta adanya gejala-gejala yang menandakan tergerusnya karakter
sebuah bangsa. Salah satu fenomena tersebut yang sering terjadi di sekolah dan
kehidupan masyarakat sosial yaitu terjadinya kasus yang menunjukkan hilangnya pendidikan karakter. Salah satu contoh permasalahan yang terjadi antar siswa dengan guru
adalah sikap tidak
menghormati, mentaati dan menghargai guru serta peraturan-peraturan yang ada di
sekolah.
Selain itu
juga permasalahan yang sering terjadi antara siswa dengan siswa yang lain,
diantaranya yaitu tawuran antar pelajar, tidak menghargai sesama teman sebaya, tejadinya
kesenjangan antar siswa, berkurangnya sikap peduli kepada teman, berkurangnya
sikap rasa tolong menolong sesama siswa dan mengikisnya nilai kebersamaan antar
siswa serta perilaku negatif lainnya.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, tentunya tidak segampang
membalikkan telapak tangan. Perlu adanya
pemikiran yang kritis dan konstruktif untuk mengatasi masalah tersebut. Mungkin
untuk bisa mengurangi permasalahan tersebut kita bisa berkaca ke sistem pendidikan
ala pesantren. Selain dipesantren diajarkan tentang pengetahuann
yang berlandaskan pada aspek intelektual, disana juga menanamkan dan meciptakan
pembelajaran serta pengaplikasian yang belandaskan pada aspek pembangunan
karakter.
Ada beberapa konsep ala pesantren yang bisa diaplikasikan dalam pelaksanaan
pendidikan di sekolah. Dengan tujuan untuk mengurangi kesenjangan antara guru
dan siswa. Pertama, penbentukan kegiatan Majelis Ta’lim. Dimana dalam
teknisnya guru yang menjadi Narasumber dan para siswa sebagai audiennya. Kegiatan
ini dilaksanakan dengan tujuan agar membentuk karakter siswa agar taat terhadap
guru. Dalam kegiatan majelis taklim ini didoktrin bagaimana siswa agar lebih
mengutamakan akhlak sebelum ilmu. Sebagaimana yang disampaikan oleh Abuya
Sayyid Muhammad Al-Maliki bahwa “Aku lebih mengutamakan untuk mengajarkan
akhlak sebelum mengajarkan ilmu”. Dari sini jelas bahwa akhlak atau karakter
itu lebih penting dari pada ilmu. Sesuai dengan kalam hikmah yang mengatakan
bahwa ilmu dapat diperoleh dengan belajar, sedangkan manfaatnya ilmu dapat
diperoleh dengan ridhonya syekh atau guru. Maka jelaslah bahwa hormat, takdhim
dan mentaati guru adalah sumber dari kesuksesan seseorang dalam hidupnya.
Kedua, kegiatan satu jam bersama kitab atau buku. Kegiatan ini bertujuan
agar siswa tidak terlalu bosan dengan materi pelajaran yang setiap hari mereka
geluti. Selain itu, untuk menambah minat baca pada siswa. Serta untuk menambah
pengetahuan mereka di dalam bidang ilmu yang lain selain materi pokok yang
mereka pelajari setiap hari.
Ketiga, penerapan metode uswah. Sebagaimana yang diimplementasikan oleh
Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki tatkala beliau mendidik para santrinya. Beliau
lebih banyak menggunakan bahasa sikap daripada bahasa lisan. Atau dengan kata
lain, lebih mengutamakan praktek dari pada teori. Karena beliau berpegang pada
pepatah yang mengatakan bahwa “bahasa sikap lebih tajam daripada bahasa lisan”.
Oleh karena itu setidaknya guru dapat memberikan uswah kepada para siswa dalam
segala aktivitasnya untuk mebangun rasa sungkan dan cinta terhadap para
gurunya. Serta untuk membentuk karakter yang kuat pada siswa.
Selain itu, untuk mengurangi kesenjangan antara siswa dengan siswa
yang lain yaitu pertama, pelaksanaan shalat berjamaah. Dengan
diadakannya shalat berjamaah para siswa dapat ditanamkan sikap untuk saling menjaga
kerukunan sesama teman. Hal itu dibuktikan dengan tindakan jabat tangan atau
salaman ketika selesai pelaksanaan shalat berjemaah. Selain itu juga untuk
membangun kekompakan dan kebersamaan antar siswa. Dan juga terbangunnya sikap
taat terhadap pemimpin. Hal itu tercermin dalam pelaksanaan shalat yang
dilakukannya ketika imam rukuk maka semua makmumnya harus rukuk. Dan ketika tidak
mengikuti imam maka batallah shalat berjamaahnya.
Kedua, pelaksanaan khitobah(latihan ceramah atau publik speaking).
Kegiatan ini bertujuan untuk melatih mental siswa. Dengan tujuan agar mereka berani untuk tampil di depan umum
sebagai pusat perhatian orang lain, serta agar mereka merasa bahwa mereka
selalu diperhatikan oleh orang lain. Sehingga tertanam dalam jiwa mereka bahwa orang
lain selalu mengawasinya sehingga membuat para siswa malu untuk melakukan
penyimpangan dari aturan-aturan yang ada di sekolah maupun lingkungan
masyarakat.
Ketiga, mewajibkan dzikiran bagi semua siswa. Seperti dzikiran sholawat
atau dzikiran lainnya. Hal ini juga disampaikan oleh Abuya Sayyid Muhammad
Al-Maliki bahwa “ Seharusnya seorang pencari ilmu (santri atau siswa) mempunyai
bacaan wirid, sebab wirid itu dapat menjadi tameng dan pelindung dari kesesatan
serta dapat menguatkan hafalannya”. Dengan diwajibkannya dzikiran ini,
diharapkan siswa dapat membangun jiwa spiritualnya dan terhindar dari
prilaku-prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma –norma yang ada di
sekolah atau masyarakat.
Semoga para pemuda dan para pelajar sebagai penerus para pemimpin
bangsa mampu untuk menjadi pemuda yang
cerdas dan memiliki intelektual yang tinggi serta memiliki karakter yang kuat.
Sehingga mampu untuk membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan
mampu bersaing dengan negara-negara lainnya. *
Oleh :Ilham Akbar
Mahasiswa Santri Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo

Tidak ada komentar:
Posting Komentar