25/08/25

“Tanah Kelahiran”

Di sinilah aku pertama kali melihat dunia. Tanah kelahiran yang sederhana namun penuh makna. Di bumi ini aku ditimang, dibesarkan, dan dididik dengan penuh kasih sayang. Setiap sudut kampung menyimpan jejak langkah kecilku, setiap jalanan mengajarkan arti perjuangan, dan setiap orang yang kutemui menjadi bagian dari perjalanan hidupku.

Di sinilah aku tumbuh, mengenal arti persahabatan, belajar tentang kehidupan, dan ditempa dengan nilai-nilai yang kelak menjadi bekal dalam perjalanan panjang. Tanah kelahiran ini bukan hanya tempat lahir, tetapi juga madrasah kehidupan yang mengajarkan arti syukur, kesederhanaan, dan kerja keras.

Namun, waktu membawa langkahku pergi. Setelah dewasa, aku harus meninggalkan kampung halaman, menuju tanah rantauan demi melanjutkan pendidikan. Ada haru, ada rindu, tapi juga ada tekad yang menguatkan hati. 

13/08/25

GERTAK MEJA, GERTAK JIWA

 Edisi Khusus Kemerdekaan (5)

Siang itu, udara di ruangan rapat kian panas. Bukan hanya karena terik yang menyelinap lewat jendela, tetapi juga karena perdebatan yang memanas tanpa henti. Kata-kata saling beradu, argumen bertubrukan, dan tak satu pun pihak bersedia bergeser dari pendiriannya. Para tokoh masyarakat Karesidenan Besuki yang hadir mencoba meyakinkan Jepang untuk angkat kaki, tetapi semua alasan mereka dipatahkan. Pemimpin Jepang berpegang pada dalih bahwa mereka menempati markas itu atas izin gubernur.


Di sudut meja, Kiai As’ad duduk tegak. Wajahnya tenang, tetapi di balik ketenangan itu, bara kemarahan berkobar. Matanya tajam, memandang lawan bicara seperti menembus lapisan keberanian semu yang diselimuti kesombongan penjajah. Lalu, suaranya pecah memenuhi ruangan, tegas dan bergemuruh, “Negeri ini milik kami, bukan milik Gubernur Belanda, bukan milik presiden, apalagi bukan milik Jepang! Kalian harus meninggalkan negeri ini! Kalau tidak, saya dan rakyat akan menyerang kalian!”


Detik berikutnya, tangannya menghantam meja. “Brak!” Suara kayu yang retak menggema seperti dentang gong perang. Meja kokoh itu kini terbelah di salah satu sisinya, kakinya menembus lantai. Semua mata terbelalak. Ruangan yang tadinya riuh seketika terbungkam. Tak seorang pun berani menatapnya. Pemimpin Jepang yang sedari tadi duduk tegak kini basah oleh keringat dingin, tubuhnya sedikit merunduk seperti kehilangan tumpuan.


Amarah Kiai As’ad bukanlah ledakan buta. Ia adalah kemarahan yang terkendali, lahir dari kesadaran penuh akan tanggung jawab moral. Dalam perspektif psikologi konseling, ini adalah bentuk moral courage — keberanian yang berakar pada nilai dan prinsip, bukan sekadar luapan emosi. Kiai As’ad tidak sedang mengumbar marah, melainkan sedang mengarahkan emosi menjadi energi untuk mengguncang keyakinan lawan.


Kata-katanya bekerja seperti terapi kejut. Dalam konseling krisis, pendekatan semacam ini digunakan untuk memutus pola pikir kaku, memaksa pihak lain melihat kenyataan dari sudut pandang yang baru. Jepang mencoba bertahan dengan argumen legalitas, tetapi Kiai As’ad menggeser panggung pembicaraan: ini bukan soal izin gubernur, ini soal kedaulatan rakyat. Dengan bingkai baru itu, ruang gerak lawan terkunci, dan semua dalih kehilangan pijakan.


Lalu ada kekuatan simbol yang tak kalah penting. Gebrakan meja itu adalah bahasa tubuh yang menggetarkan. Dalam psikologi komunikasi, simbol fisik seperti ini meninggalkan jejak emosional yang dalam — emotional imprint yang sulit dihapus. Meja yang retak menjadi tanda bahwa kekuatan batin bisa mematahkan kekuasaan yang tampak kokoh. Pesan ini tidak hanya meresap ke benak lawan, tapi juga menular ke pihak yang mendukung perjuangan.


Di luar gedung, ribuan rakyat menunggu, bersenjata clurit, kapak, pedang, dan segala yang bisa dijadikan alat perlawanan. Wajah-wajah tegang memandang ke arah pintu, menunggu aba-aba. Satu percikan bisa memicu amukan massa. Kiai As’ad tahu itu. Karena itulah gertakan di dalam ruangan tidak hanya diarahkan kepada Jepang, tetapi juga menjadi isyarat bagi rakyat bahwa pemimpinnya berdiri di garda terdepan, berbicara untuk mereka, tanpa gegabah menjerumuskan semua pada pertumpahan darah.


Keberanian Kiai As’ad adalah perpaduan langka antara command presence — kehadiran yang secara alami memerintah rasa hormat — dan empathic control — kemampuan mengendalikan emosi massa sambil menyatu dalam semangat mereka. Ia mengelola kemarahan rakyat menjadi tekanan psikologis yang terukur, sehingga lawan merasa terkepung, bukan hanya oleh jumlah orang di luar, tetapi oleh gelombang keyakinan yang dipimpin dari dalam.


Akhirnya, benteng keangkuhan itu runtuh. Pemimpin Jepang menyerah. Mereka setuju meninggalkan markas di Garahan, menyerahkan gedung dan senjata kepada rakyat. Tentara Jepang diangkut dengan truk menuju Surabaya. Semua itu terjadi tanpa satu peluru pun ditembakkan, tanpa satu nyawa pun melayang.


Inilah puncak dari apa yang dalam psikologi konseling disebut konfrontasi konstruktif: menghadap lawan secara langsung, dengan tekanan moral dan simbolik yang cukup untuk membuatnya mengubah sikap, tanpa memicu eskalasi destruktif. Kata-kata “Negeri ini milik kami” bukan sekadar slogan perlawanan, tetapi pernyataan kepemilikan batin yang melahirkan keberanian kolektif.


Dari kejadian tersebut, sebagaimana dikisahkan dalam buku Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat, kita melihat bahwa keberanian sejati bukanlah ketiadaan rasa takut. Ia adalah penguasaan diri untuk bertindak benar meski rasa takut itu hadir. Kiai As’ad memadukan spiritualitas, retorika, dan kendali emosi menjadi terapi kolektif yang menguatkan rakyat: menegakkan kepala, menolak tunduk, dan yakin bahwa kedaulatan tidak untuk ditawar.


Hari itu, di ruang rapat yang panas, bukan hanya meja yang retak. Yang runtuh adalah kesombongan penjajah, dan yang lahir adalah kesadaran baru: bahwa kemerdekaan dimulai dari keberanian untuk berkata dengan lantang, “Ini milik kami” — dan memastikan kata itu hidup dalam tindakan nyata.


Sukorejo, 13 Agustus 2025

05/08/25

Pendidikan Membantu Manusia Menemukan Kedamaian dan Kebahagiaan

 Kritik tajam terhadap sistem pendidikan yang terlalu menekankan prestasi akademik, namun abai terhadap kebahagiaan dan kesehatan mental siswa. Neill menyoroti bahwa tujuan akhir pendidikan seharusnya bukan sekadar mencetak gelar atau status sosial, melainkan membantu manusia menemukan kedamaian, kebebasan, dan makna dalam hidupnya, apapun profesinya.

Dalam masyarakat yang kerap mengukur kesuksesan dari seberapa tinggi seseorang bersekolah atau seberapa elit pekerjaannya, pandangan Neill terasa seperti perlawanan. Ia mengingatkan bahwa pendidikan yang baik bukanlah yang memaksa anak mengikuti standar sempit, melainkan yang membebaskan mereka untuk menjadi dirinya sendiri—dan merasa cukup dengan itu. Seorang penyapu jalan yang menjalani hidup dengan gembira, bangga, dan damai lebih utuh sebagai manusia daripada sarjana yang tersesat, tertekan, dan terasing dari dirinya sendiri.

Pandangan ini juga mengajarkan kita untuk lebih menghargai martabat setiap pekerjaan dan pilihan hidup. Karena ukuran keberhasilan bukan semata-mata prestise, tapi sejauh mana seseorang bisa hidup selaras dengan dirinya sendiri. Sekolah, keluarga, dan masyarakat perlu merefleksikan kembali: apakah kita mendidik anak untuk bahagia dan berdaya? Atau justru hanya menyiapkan mereka agar diterima dalam perlombaan sosial yang penuh tekanan?

“Tanah Kelahiran”

Di sinilah aku pertama kali melihat dunia. Tanah kelahiran yang sederhana namun penuh makna. Di bumi ini aku ditimang, dibesarkan, dan didid...