22/02/23
Tak perlu minder apalagi protes pada Allah
14/02/23
Ilmu Fisika (Albert Einstein)
Tak perlu berlebihan
Hidup sesuai kemampuan
Utamakan kebutuhan
Supaya tidak terjebak dalam gaya hidup yang menyulitkan
13/02/23
KHR Ach Azaim Ibrahimy, Cucu Mediator Terbentuknya NU yang Haus Akan Ilmu
Kiyai Azaim Bayi yang dianggap Tumor.
KH Raden
Ahmad Azaaim Ibrahimy dilahirkan pada tanggal 25 Januari 1980. Awalnya janin
dari bayi mulia ini sempat dianggap oleh ibundanya sebagai penyakit tumor,
karena saat mengandung sang ibu tidak merasa lazimnya wanita hamil.
Selama
mengandung putranya ini, Nyai Zainiyah tidak pernah merasa bahwa ia telah
mengandung. Pasalnya, kandungan tersebut tidak pernah ia rasakan seperti yang
ia rasakan saat mengandung anak-anak yang lain. Bentuk kandungannya pun
seolah-olah di dalamnya tidak berisi bayi.
Namun,
sang ibu tidak mau memeriksakannya ke dokter. Khawatir nantinya divonis
mengidap penyakit tumor. Sungguh kuasa Allah, yang awalnya dikira sebagai tumor
itu ternyata adalah seorang bayi yang kelak menjadi pemuda yang haus ilmu,
bahkan menjadi penerus estafet Pondok Pesantren Salafiyah Syafi iyah
Sukorejo Situbondo Jawa Timur.
Diceritakan,
sebelum hamil sang ibunda bermimpi. Mimpi ini merupakan isyarat bahwa anak yang
dikandung kelak akan menjadi seorang yang ilmunya tersebar luas dan manfaatnya
dirasa oleh banyak orang.
Tak lama
dari peristiwa itu, Nyai Zainiyah mengandung dan tak lain yang ada di dalam
kandungan adalah KH Raden Ahmad Azaim Ibrahimy.
Lora Azaim dalam Pelukan Sayyid al-Maliki.
Saat Kiyai Azaim berumur 20 hari, kakeknya, KH Raden As'ad Syamsul Arifin kedatangan tamu, Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki yang berkunjung ke Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi iyyah atas nama utusan Kerajaan Arab Saudi. Di tengah-tengah tamu kiyai As'ad lagi berbincang bincang dengan asik, sosok bayi laki-laki mungil yang masih suci ini ternyata juga ikut menyimak. Usai membicarakan tema-tema penting, Kiyai As'ad berharap kepada Allah agar bayi yang sedari tadi mengupingi isi pembicaraan itu, menjadi anak yang sholeh, bermanfaat bagi umat. Beliau pun memohon kepada Abuya Sayyid Muhammad agar berkenan memangku anak itu walau sebentar. Abuya Sayyid mengabulkan permintaan Kyai As'ad. Bayi mungil itu pun sudah ada di pelukan Sayyid. Ia merasa nyaman dan sayyid pun tanpa terasa telah terbuai dalam cinta sang bayi mungil itu. Kemudian Sayyid merasa ingin memiliki bayi itu. Tanpa merasa ada beban, Sayyid mengutarakan keinginannya untuk segera memiliki sang bayi. “Jika anak ini sudah dewasa, biarkan ia bersama saya,” ungkap Sayyid Muhammad.
Kiyai
Azaim Nama asalnya Muhammad Imdad
Nama Kiyai
Azaim, pada mulanya bernama Muhammad Imdad, sebuah nama pemberian ibundanya,
Nyai Zainiyah. Bayi lelaki yang bernama Imdad diasuh oleh Nyai Siti. Bersama
ibu asuh inilah, ia lebih banyak menghabiskan hari-harinya. Pernah suatu
ketika, Imdad melempari batu ke arah Madrasah Putri gegara Nyai Siti saat itu
sedang mengajar di kelas. Muhammad Imdad meminta Nyai Siti untuk berhenti
mengajar. Saat Imdad ngamuk, datanglah Kiyai As'ad. Mengetahui cucunya ngamuk
seperti itu, Kiyai As ad bertanya kepada Nyai Siti kanapa Imdad ngamuk, Nyai
Siti menjawab karena diketahui ngajar santri. Selepas itu, Kiyai As ad dengan
nada sambil bergurau meminta agar nama Muhammad Imdad dirubah.
Saat itu, Kakek Imdad menjelaskan kepada Nyai Siti, kalau cucu itu masih bernama Imdad, ia akan nakal dan sulit diatur. Maka atas permitaan Kiyai As'ad, Nyai Zainiyah merubahnya menjadi Ahmad Azaim Ibrahimy.
Kesenangan Kiyai Azaim saat
kecil adalah main tembak-tembakan. Profesi yang sering dilakukan para tentara
itu sangat digemari oleh Kiyai Azaim di kala kecil. Sehingga tidak jarang ia
berlagak seperti tentara. Seperti memainkan tembak-tembakan sambil bersembunyi
seolah-olah sedang mengintai atau menghindari musuh.
Penah suatu ketika Kiyai
As’ad sedang menerima tamu negara, yaitu Mentri Pertahanan dan Keamanan
(Menhankam), LB. Moerdani. Kiyai Azaim mengetahui kalau yang menjadi tamu
kakeknya itu adalah tentara, dengan sigap Kiyai Azaim berlari menuju Kiyai
As’ad seraya berteriak “Pak tembak, Pak tembak” sebut Kiyai Azaim kepada Pak LB
Moerdani.
Kiyai Azaim yang ingin
melihat Jendaral TNI tersebut, langsung duduk di pangkuan sang Kakek. LB.
Moerdani yang belum mengetahui siapa bocah kecil itu langsung bertanya kepada
Kiyai As’ad.” Siapa anak ini Kiyai?”
Kiyai As’ad menyampaikan
kepada tamunya kalau anak yang duduk di pangkuannya itu adalah cucunya sendiri.
“Doakan cucu saya ini ya pak, Insya Allah ini yang akan menjadi pengganti
Sukorejo, yang akan meneruskan perjuangan saya” ujar Kiyai As’ad kepada LB.
Moerdani.
Beliau dan Jendral TNI itu
sedang berbicara empat mata, tidak ada seorangpun yang ikut berbicara selain
mereka berdua. Tetapi tanpa sengaja, perbincangan itu kemudian didengar oleh
Nyi Siti, ibu asuh Kiyai Azaim.
Pada masa menempuh pendidikan dasarnya, Azaim kecil tidak jauh beda
dengan teman-temanya yang lain. Ia bermain, gurau, nakal dan lain sebagainya. Kiyai
Azaim tidak jarang membuat mangkel ibu dan kaka-kakanya dikarenakan persoalan
klasik bagi anak kebanyakan. Merengek-rengek, membanting sesuatu ketika merasa
kecewa sampai urusan mandi.
Masa kanak-kanaknya tanpa terasa seiring
berlalu dengan berlalunya sang waktu. Tahun 1992 iapun lulus SD. Karena belum
siap pisah dengan teman-temanya iapun melanjutkan Pendidikan menengahnya di SMP
Ibrahimy Sukorejo.
Pada masa pendidikan di lembaga milik
keluarganya ini, ia tempuh sekira 1992-994. Di SMP Ibrahimy ini ia tidak sampai
menyelesaikan pendidikan SMP-nya. Dengan berbagai pertimbangan, ia pindah ke
Nurul Jadid Paiton sampai lulus SMP tahun 1995.
Kepindahan Kiyai Azaim dari SMP Ibrahimy
ternyata atas inisiatif beliau sendiri. Alasannya untuk pindah dari sekolah
yang notabene milik keluarganya sendiri sangat mencengangkan.
Di SMP Ibrahimy ini, Azaim ingin cepat-cepat
pindah karena ia merasa guru-gurunya memperlakukan istimewa. Walau sebangai
cucu Kiyai As’ad, Kiyai Azaim ternyata tidak nyaman dengan perlakuan gurunya
terhadap Kiyai Azaim.
Iapun mendesak sang ibu untuk mencarikan
tempat mondok yang baru. Atas hasil istikhoroh sang ummi, KIyai Azaimpun mantap
mondok di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton.
Tak ingin istimewa di tempat barunya ini, ia tidak pernah menampakkan sama
sekali kalau ia putra KH.Dhofier Munawar, telebih cucu KHR. As’ad Syamsul
Arifin.
Di pesantren inilah, ia tampil apa adanya. Kiyai Azaim sering menyapu
dan mencuci piring di dapur. Usai menyapu dan cuci piring, ia langsung pergi
tanpa mengambil upah yang ditawarkan kepadanya.
Sejak menyelesaikan pendidikan formalnya di
Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton (1994-1998), Kiyai Azaim menjadi santri
perantau. Ia kerap pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Ia mulai
pindah dari pesantren yang satu menuju pesantren yang satunya pada kurun tahun
1998-2003.
Perantauan imiyahnya terasa semakin lengkap
ketika ia berangkat ke Ma’had Rushaifah pada tahun 2003. Dengan menggunakan
Paspor TKI, ia berangkat ke Tanah Suci. Berbekal restu Sang Ummi, Kiyai Azaim mantap
menuju Ma’had yang saat ini diasuh oleh Sayyid Ahmad bin Muhammad Alawi
Al-Maliki.
Sesampainya di Kota kelahiran Nabi Muhammad SAW itu, langsung menghadap
Abuya Sayyid Muhammad. Saat itu orang yang pernah menggendongnya itu sudah
sakit-sakitan. Baru bertemu dengan Sayyid, Kiyai Azaim langsung diminta untuk
membantu Sayyid. Ia tidak diberikan keluar oleh Sayyid.
Minggu-minggu pertama di Kota Mekkah, Kiyai
Azaim sering diperintahkan Sayyid untuk mengantarkan makanan berbuka puasa ke
Masjidil Haram. Mengantar berbuka puasa inilah yang dilakukan di bulan Ramadhan
setiap harinya.
Sekitar satu tahun di Mekkah, Abuya Sayyid
Muhammad Alawi Al-Maliki wafat. Otomatis ia diganti putranya yaitu Sayyid Ahmad
bin Muhammad Alawi Al-Maliki.
Selain sebagai santri yang cerdas, Kiyai
Azaim dikenal sangat dekat dengan Sayyid Ahmad bin Muhammad Alawi Al-Maliki. Ia
sering diminta menjadi penerjemah isi pidato Sayyid Ahmad. Jika ada jamaah yang
datang dari Indonesia ke Sayyid Ahmad, bisa dipastikan Kiyai Azaimlah yang
ditunjuk sebagai penerjemah.
Kealiman KHR Ahmad Azaim Ibrahimy memang
sudah tidak diragukan. Alim wajar saja sebagai cucu kiyai As’ad ini, abahnya
Kiyai Dhofier Munawar siapa yang tidak tahu kealimannya. Cucu Kiyai Ruham yang
wafat tahun 1985 dikenal sebagai kamus berjalan.
Sehingga besar kemungkinan kealiman abahnya
berpindah kepada putranya yang tidak lain adalah KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy yang
kini menjadi Pengasuh ke IV Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo
Situbondo.
KHR Ahmad Azaim Ibrahimy merupakan pengasuh
keempat yang didaulat jadi pimpinan pesantren sejak tahun 2012. Sebelum beliau
telah ada tiga generasi pengasuh. Beliau adalah KHR. Syamsul Arifin (1908 –
1951), KHR. As’ad Syamsul Arifin (1951 – 1990), dan KHR. Fawaid As’ad
(1990 – 2012).
04/02/23
Canda kopi selalu menarik
“Tanah Kelahiran”
Di sinilah aku pertama kali melihat dunia. Tanah kelahiran yang sederhana namun penuh makna. Di bumi ini aku ditimang, dibesarkan, dan didid...
-
Resensi Buku: Sisi Tergelap Surga Karya Brian Khrisna Judul Buku : Sisi Tergelap Surga Penulis ...
-
Oleh : Ahmad Ch ********************* Setahun lalu, sebelum kawe berege 60, anye la ngancap-ngancap. Aku pernah nulis di Pisbuk judulnye...
