04/12/20

Tempat yang kau anggap baik itu hanyalah penjara yang tersamarkan.

Mengupload: 371712 dari 739305 byte diupload.



Tempat yang kau anggap baik itu hanyalah penjara yang tersamarkan.


Kamu indah, namun sayang.. Hanya sebatas ekspektasi.
Tujuan hanyalah istilah. Proses untuk mencapainya adalah realita.
Bermimpilah dalam hidup, jangan hidup dalam mimpi.
Hidup ini cair, semesta ini bergerak, realitas berubah.
Ekspektasi berlebihan akan menyakitimu lebih dalam.
Ekspektasi adalah akar dari seluruh sakit kepala.
Jangan heran jika ekspektasi tak seindah kenyataan. Karena ini dunia nyata, bukan dunia khayalan.
Kau terlalu pintar bersandiwara hingga aku tak tau mana yang dista mana yang realita.
Bukan kenyataan yang pahit, tapi, ekspektasi kita saja yang terlalu manis.
Hidup bukan masalah untuk diselesaikan, tetapi realita untuk dihadapi.
Ingin memiliki tapi kenyataan tak merestui.
Memperjuangkan ideologi harus realistis, bukan harga mati.
Menapik bukan sebatas realita, senjanya lenyap pada beberapa luka yang tertinggal lama.
Betapa ironisnya realita saat harus bersanding dengan dunia dongeng.
Realita meninggalkan banyak imajinasi.
Realitas dapat menghancurkan mimpi, mengapa mimpi tidak menghancurkan realita?
Terkadang ekspetasi menjatuhkan realita.
Realita adalah ilusi, hanya saja, sifatnya memaksa.
Saat realita tak semanis ekspektasi, tandanya kamu perlu refreshing.
Karena realita tidak seindah ekspektasi. Jangan selalu membayangkan yang indah-indah. Bayangkan juga hal terburuk.
Saat ekspektasi tidak sesuai dengan realita, kadang selalu berpikir untuk tidak memikirkannya.
Kebanyakan manusia lebih menyukai keindahan fatamorgana ketimbang menghadapi realita hidup yang terkadang tak seindah harapan.
Sebab yang paling salah dari jatuh cinta adalah ketika kamu menyelam terlalu dalam pada imajinasi yang kamu buat sendiri, dan harapan yang kamu karang sendiri, sehingga kamu lupa menyadari. Kamu hanya berekspektasi sendiri.
Jangan sampai padam mimpi-mimpi itu, bagaimanapun terjangan realita yang menimpa.
Mungkin sudah hukumnya bahwa ekspektasi jauh lebih baik daripada realita.
Kegagalan tidak akan pernah mengalahkan keinginan kuat untuk mencapai kesuksesan.
Jalani hidup dan bermimpilah dalam ekspektasi diri Anda sendiri, bukan orang lain.
Membaca adalah cara melarikan diri paling ampuh dari realita kehidupan yang tidak sesuai ekspektasi kita.
Realita tetap realita, tak peduli kamu menghindar atau tidak, semua itu tidak mengubah kenyataan yang ada.
Bahagia itu Sedikit ekspektasi, banyak toleransi. Sedikit mengeluh, banyak mensyukuri. Sedikit menuntut, banyak memberi.
Jangan terlalu membenci dan jangan terlalu mencintai. Agar ketika tidak sesuai dengan realita, kau tak kecewa.
Karena luka tercipta dari seseorang yang kita anggap istimewa.
Segala sesuatu yang dapat Anda bayangkan adalah nyata.
Terkadang realita terlihat bodoh saat disandingkan dengan ekspektasi.
Terkadang hidup akan terasa membosankan jika ekspektasi selalu berbanding lurus dengan realita.
Jangan terlalu memikirkan ekspektasi, karena bisa saja kamu tidak akan menerima realita.
Kesetiaan tidak bisa ditebak-tebak. Hanya bisa diukur dengan waktu dan realita. Karena kesetiaan mestilah nyata, bukan janji manis di ujung lidah.
Bahagia itu perihal ekspektasi. Semakin rendah ekspektasimu, semakin mudah bahagiamu.
Alasan itu hanyalah untuk orang lemah, alasan itu hanyalah untuk orang yang tidak bisa menerima realita. Orang gagal, akan selalu menyalahkan segalanya.
Banyak cerita tentang hidup, namun bagaimana pun kita berekspektasi, semua hanyalah ekspektasi jika tak direalitakan.
Jika realita tak semanis ekspektasi, harus terima dengan ikhlas hati. Ada kalanya dibuat bahagia, ada kalanya dibuat terluka. Sakit? ya! memang cinta itu ‘UNPREDICTABLE’
Jangan terlalu dalam berharap sama manusia. Terkadang ekspektasi tak seindah realita.
Realita adalah sebuah kenyataan yang tidak akan pernah semanis ekspektasi.
Kita sama-sama tahu, saat ekspektasi ditaruh di raga lain, kecewa sering jadi teman. Bukan sekali dua kali. Mungkin kita lupa, atau terlalu keras kepala.
Terkadang realita tak semanis ekspektasi namun rasa syukur mampu menjadikan realita semanis ekspektasi.
Hidup adalah serangkaian perubahan yang alami dan spontan. Jangan tolak mereka karena itu hanya membuat penyesalan dan duka. Biarkan realita menjadi realita. Biarkan sesuatu mengalir dengan alami ke manapun mereka inginkan.

Bulan Di Atas Kota Santriku

 



Bulan Di Atas Kota Santriku

Cerpen Karangan: lham Akbar Pratama Wijaya
Kategori: Cerpen Islami (Religi)Cerpen RemajaCerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 26 December 2017

Kota santri terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota santri masih terasa. Di atap masjid pondok pesantren seorang pemuda berdiri tegap menghadap menara masjid. Kedua matanya memandang.

Namaku wijaya. Aku adalah seorang hamba. Aku terlahir dengan kasih sayang kedua orangtuaku. Suatu hari kedua orangtuaku menyuruhku untuk menimba ilmu di pondok pesantren, karena aku terlahir di tengah keluarga yang kurang mampu jadi aku pergi dengan berjalan kaki. Aku terus melangkah dengan keyakinan. Aku ingin membanggakan kedua orangtuaku, aku terbayang-bayang kasih sayang mereka.

Awal hidup di pesantren memang tak semudah yang aku bayangkan. Aktivitas dari bangun pagi hingga kembali tidur sudah diatur di selembar kertas yang ditempel di dinding kamar masing-masing. Ketika jam tiga pagi, sudah ada pendamping yang siap meneriaki kami untuk segera bangun untuk melaksanakan shalat tahajud. Setelah itu kami harus menghafalkan Al-Quran sembari menunggu adzan subuh tiba

“Sudah hafal berapa juz, wijaya?” kata Kang Rasyid padaku.
“Waduh kang, masih sedikit. Masih tiga juz kang” kataku nyengir.
“Alhamdulillah, terus semangat! Allah menyukai orang-orang yang dekat dengan Al-Quran. Tapi wijaya, sudah coba menguji hafalmu kan?” ujar Kang Rasyid menambahi perkataanya.
“Sudah kang, sudah saya setor ke Ustadz. Fatih lahh…”
“Hahaha, kamu lucu sekali. Bukan itu maksudnya Wijaya! Begini, maksud saya, cobalah kamu gunakan hafalanmu ketika shalat sunnah. Perpanjanglah bacaan dengan surat-surat yang sudah kamu hafal” ujar Kang Rasyid sembari meninggalkanku.
“Oo begitu… baikklah kang, akan Wijaya coba. Syukron Mas!” teriakku pada mas Rasyid yang telah berlalu.

Lalu aku pergi ke kamar untuk melepas peralatan sholatku dan aku segera bergegas ke kamar mandi. setelah selesai mandi, aku langsung mengambil piring untuk mengambil makanan.. Setelah mengambil makanan aku langsung duduk di samping asrama, Setelah selesai makan aku langsung cuci piring dan siap pergi ke sekolah.

“Wijaya, tungguiin aku dong.” Ucap Radit
“Iya iya cepet” Ucap Wijaya.

Sepanjang perjalanan untuk ke kelas aku kelupaan sesuatu yang untuk dibawanya ke kelas.
“Astagfirullah, ada yang kelupaan?” Ucap Wijaya
“Apaan yang kelupaan?” Tanya Rizal
“Bukuku.. udah kalian duluan saja ke kelasnya nanti aku akan menyusul” Jawab Wijaya.

Lalu ada temanku yang menyamperiku dan di tangannya ada kelihatan sebuah buku.
“Wijaya ini bukumu bukan?” Tanya Alvin
“Iya iya ini bukuku.” Jawab Wijaya
“lain kali jangan ditinggalkan di kasur ya .” Ucap Alvin
“iya, syukron ya vin” ucap wijaya
“Afwan” jawab Alvin. Lalu aku berlari ke kelas, setelah itu di kelasaku belajar dan mendapatkan berbagai ilmu yang besar dan lumayan banyak. Setelah itu bel pun berbunyi untuk menandai untuk istirahat

“Wijaya, sholat dhuha dulu yuk. mau gak?” Tanya Alvin
“Ok, ajak teman-teman yang lain juga ya” Jawab Wijaya
Setelah aku mengajak teman-teman yang lain, aku langsung berangkat ke masjid untuk sholat dhuha.

Setelah selesai solat dhuha, kami jajan ke kantin tetapi salah satu sepatu teman kami ada yang hilang.
“Astagfirullah, Dimana ya sepatuku yang sebelah lagi?” Tanya Alvin
“Mungkin kesenggol orang, terus jatuh dan mungkin ketendang kali.” Jawab Rizal
“Akhh… gak mungkin pasti ada yang jail nih” Ucap Alvin.

Kebetulan salah satu dari kami ada yang menemukan sepatu milik teman kami..
“Vin nih sepatumu” Ucap Radit
“Di mana?” Tanya Alvin
“Nih, di sini” Jawab Radit
“Wah makasih ya sudah ditemukan sepatuku” Ucap Alvin sambil terseyum
“Ya sama-sama” Jawab Radit

Beberapa saat kemudian bel pun berbunyi
“Ya udah sekarang kita masuk kelas yuk” Ucap Wijaya sembari meninggalkan teman-temannya
Akhirnya bel istirahat pun kelar aku dan kawan-kawanku masuk ke kelas mereka masing-masing. kami pun di kelas ini belajar dengan sungguh-sungguh supaya kami bisa membanggakan orangtua kami, Belajar adalah usaha kita untuk bisa bersaing mendapatkan nilai tertinggi.
“Alhamdulillah Dikit lagi Bel pulang dan sholat dzuhur” Ucap Ali di dalam hatinya

Bel pulang berbunyi
Setelah kami belajar, kami langsung menuju ke masjid untuk solat dzuhur berjama’ah. Setelah kami sholat mengambil tas kami, Lalu kita menuju ke kamarnya masing-masing untuk beristirahat sebentar, biar nanti gak kelelahan saat muraja’ah.

Bel menandakan sholat ashar pun dibunyikan aku pun terbangun dari tidurku, lumayanlah tidurnya gak lama dan gak sebentar. Lalu aku bergegas menuju ke kamar mandir untuk cuci muka dan wudhu, setelah itu aku langsung mengambil peralatan sholatku dan memakainya setelah aku pakai aku langsung berangkat ke masjid.. Sesampai di masjid aku langsung solat tahiyatal masjid dan muraja’ah hafalan tak berapa lama kemudian azanpun dikumandangkan di sini, Setelah azan aku pun langsung sholat sunnah dan tak setelah selesai kemudian iqomah pun dikumandangkan. lalu temanku datang.

“Wijaya, ayo kita setoran muraja’ah kita coba tes aku ya” ucap Rizal
“Sebentar, panggil kawan-kawan biar kita muraja’ah bareng-bareng.”. Lalu wijaya memanggil kawan-kawan untuk saling setor menyetor, lalu kami semua langsung muraja’ah nanti kami saling setor menyetor terhadap teman baru nanti dites oleh ustad kami, beberapa kemudian ada dari teman kami yang menyetor duluan dan kami juga gak akan mau kalah dengan dia setelah beberapa menit semuanya langsung menyetor ke ustadznya..

“ustadz, saya mau setoran” ucap Wijaya
“iya sabar satu persatu ya wijaya” Ucap ustadz. Akhirnya dari beberapa kami ada yang sudah menyeselesaikan setorannya, dan terakhir tinggal si rizal sehabis selesai rizal kami langsung izin ke asrama

Hari sudah terlampau sore, mentari sebentar lagi akan tenggelam. “Teeett… teeett…”, terdengar suara bel yang berarti waktu istirahat sudah berakhir. Aku dan teman-temanku tergesa-gesa menyelesaikan pekerjaannya, yaitu mencuci pakaiannya di sebuah kolam yang letaknya tidak jauh dari asrama tempat kita tinggal.
“Setelah selesai mencuci pakaian, aku mandi dulu, menjemur pakaiannya nanti sajalah”, gumamku dalam hati. Wijaya masuk lewat pintu belakang asrama, dengan meletakkan handuk di bahunya dan di tangannya membawa perkakas mandi. Tak dihiraukannya pandangan geram ketua asrama yang sedang menunggu di pintu depan, siap untuk mengunci pintu.

Setelah selesai mandi, wijaya kemudian menutup pintu belakang, lalu segera memasang seragam dan mengambil kitab. Dengan tergesa-gesa dia berlari keluar asrama. Dibiarkannya kancing bajunya yang belum terpasang. Tiba-tiba dia bertemu dengan kang adam. Dengan ekspresi geram, seakan kang adam ingin menyampaikan sesuatu kepada wijaya

“Setelah magrib kamu berdiri di mushala!”, kata Kang Adam ketua asrama yang bawel itu
“Hah, kenapa kang?” sahut Wijaya protes
“Salahmu sendiri, sering terlambat!!, teman-temanmu sudah selesai mengerjakan pekerjaannya, Cuma kamu yang selalu terlambat dibanding mereka!” Wijaya terdiam, tak berani menjawab. Yah, begitulah hari-harinya di pesantren, selalu diampit waktu, sering terlambat, dan disanksi adalah tiga hal yang tidak dapat dipisahkan olehnya.

Rasa rindu kepada orangtua belum lah terobati, tiba-tiba rizal menghampiriku untuk mengabari bahwa ibuku meneleponku, aku langsung berlari menuju kantor untuk mengangkat telepon dari ibuku.
“Ayah sehat Bu?” tanyaku kepada Ibu lewat telepon. Ibu hanya terdiam, tiba-tiba saja terdengar isakan tangis di luar sana
“Ibu, apakah ibu menangis?” tanyaku lagi.
“Ayahmu wijaya..” jawab ibu sambil terisak
“Ayah Kenapa Ibu??” tanyaku.
Perasaan ini bercampur antara bingung, resah dan sedih, aku bertanya-tanya pada hati. Ada apa ini?, apa yang terjadi dengan ayah?
“Ayahmu sudah tidak ada wijaya..” ibu menjelaskannya dengan menangis.

Hati ini begitu sakit bagaikan tertusuk pedang. Aku tak mampu berkata-kata, aku hanya terduduk lemas menahan air mataku. Ayahku!! Pemilik cinta tanpa akhir meninggalkanku dan ibu. Ayahku yang mendidikku agar aku menjadi anak yang kuat telah pergi ke rumah ilahi Teman-temanku yang tau aku menangis langsung merangkulku dan menepuk pundakku.
“Jangan bersedih temanku… berdirilah dan buat ayahmu bangga padamu…” Kata Rizal merangkulku. Kata-katanya membuatku bangkit dari jatuh yang sangat menyakitkan.
“Buktikan temanku bahwa kita para santri dapat mengenggam dunia dan membanggakan bangsa dan agama” kata teman-temanku. Mereka merangkulku seakan-akan mereka adalah tiang-tiang yang menguatkanku ketika aku jatuh.

Kini aku sudah dipuncak tingkat menengah akhir. Melegalisir ijazah adalah kegiatan yang popular di kalangan kami yang baru diwisuda. Ini kegiatan penanda bahwa masa bersenang-senang disekolah sudah habis, kini tiba waktunya bersaing untuk mengapai cita-cita kita masing-masing. Aku mendapatkan beasiswa di yaman untuk melanjutkan studyku, aku semakin yakin bahwa aku pasti mengenggam dunia.

Ketika aku kembali ke bandung, aku ingat sekali waktu aku melenggang turun dengan langkah ringan dari pesawat yang membawaku dari yaman, aku merasa menjelma seperti tokoh utama di film Hollywood yang melangkah gagah menuruni tangga pesawat dengan slow motion, ujung-ujung rambut berkibar-kibar ditiup angin dan adzan maghrib yang mengiringi. Inilah aku seorang anak kampung yang telah mengenggam separuh dunia, aku tidak menyangka 4 tahun yang penuh kelimpahan ini telah terwati. Aku langsung menuju pondok pesantren yang selalu aku rindukan. Aku naik keatap masjid menghadap menara masjid pondok pesantrenku. Aku mendongak melihat langit malam.
“Ayah lihatlah elang kecilmu ini sudah menjadi elang dewasa yang hebat”. Kataku sambil memejamkan mata. Rizal menghampiriku dan memegang pundakku. Kami berdua tersenyum bersama angin malam dan dengan saksi indahku bersama bulan di atas kota santriku.

Cerpen Karangan: lham Akbar Pratama Wijaya
Facebook: lham Akbar Pratama Wijaya

“Tanah Kelahiran”

Di sinilah aku pertama kali melihat dunia. Tanah kelahiran yang sederhana namun penuh makna. Di bumi ini aku ditimang, dibesarkan, dan didid...