AKU RINDU ISLAM PADA MASA KECILKU

AKU RINDU ISLAM PADA MASA KECILKU
4 ORANG YANG TIDAK AKAN TERSENTUH API NERAKA
"KISAH UMAR BIN KHATTAB DITUSUK SAAT JADI IMAM SHOLAT SUBUH"

Assalamualaikum,,,
Merinding
Itu.. serius anak SD?
Kok bisa.. 😢😢
Sesudah jumatan aku masih duduk di teras mesjid di salah satu kompleks sekolah. Jamaah mesjid sudah sepi, bubar masing-masing dengan kesibukannya.
Seorang nenek tua menawarkan dagangannya, kue traditional. Satu plastik harganya lima ribu rupiah. Aku sebetulnya tidak berminat, tetapi karena kasihan aku beli satu plastik.
Si nenek penjual kue terlihat letih dan duduk di teras mesjid tak jauh dariku. Kulihat masih banyak dagangannya. Tak lama kulihat seorang anak lelaki dari komplek sekolah itu mendatangi si nenek. Aku perkirakan bocah itu baru murid kelas satu atau dua.
Dialognya dengan si nenek jelas terdengar dari tempat aku duduk.
“Berapa harganya Nek?”
“Satu plastik kue Lima ribu, nak”, jawab si nenek.
Anak kecil itu mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari kantongnya dan berkata :
“Saya beli 10 plastik, ini uangnya, tapi buat Nenek aja kuenya kan bisa dijual lagi.”
Si nenek jelas sekali terlihat berbinar2 matanya :
“Ya Allah terima ksh bnyk Nak. Alhamdulillah ya Allah kabulkan doa saya utk beli obat cucu yg lagi sakit.” Si nenek langsung jalan.
Refleks aku panggil anak lelaki itu.
“Siapa namamu ? Kelas berapa?”
“Nama saya Radit, kelas 2, pak”, jawabnya sopan.
“Uang jajan kamu sehari lima puluh ribu?'”
” Oh .. tidak Pak, saya dikasih uang jajan sama papa sepuluh ribu sehari. Tapi saya tidak pernah jajan, karena saya juga bawa bekal makanan dari rumah.”
“Jadi yang kamu kasih ke nenek tadi tabungan uang jajan kamu sejak hari senin?”, tanyaku semakin tertarik.
“Betul Pak, jadi setiap jumat saya bisa sedekah Lima puluh ribu rupiah. Dan sesudah itu saya selalu berdoa agar Allah berikan pahalanya untuk ibu saya yang sudah meninggal. Saya pernah mendengar ceramah ada seorang ibu yang Allah ampuni dan selamatkan dari api neraka karena anaknya bersedekah sepotong roti, Pak”, anak SD itu berbicara dengan fasihnya.
Aku pegang bahu anak itu :
” Sejak kapan ibumu meninggal, Radit?”
“Ketika saya masih TK, pak”
Tak terasa air mataku menetes :
“Hatimu jauh lebih mulia dari aku Radit, ini aku ganti uang kamu yg Lima puluh ribu tadi ya…”, kataku sambil menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan ke tangannya.
Tapi dengan sopan Radit menolaknya dan berkata :
“Terima kasih banyak, Pak… Tapi untuk keperluan bapak aja, saya masih anak kecil tidak punya tanggungan… Tapi bapa punya keluarga…. Saya pamit balik ke kelas Pak”.
Radit menyalami tanganku dan menciumnya.
“Allah menjagamu, nak ..”, jawabku lirih.
Aku pun beranjak pergi, tidak jauh dari situ kulihat si nenek penjual kue ada di sebuah apotik. Bergegas aku kesana, kulihat si nenek akan membayar obat yang dibelinya.
Aku bertanya kepada kasir berapa harga obatnya. Kasir menjawab : ” Empat puluh ribu rupiah..”
Aku serahkan uang yang ditolak anak tadi ke kasir : ” Ini saya yang bayar… Kembaliannya berikan kepada si nenek ini..”
“Ya Allah.. Pak…”
Belum sempat si nenek berterima kasih, aku sudah bergegas meninggalkan apotik… Aku bergegas menuju Pandeglang menyusul teman-teman yang sedang keliling dakwah disana.
Dalam hati aku berdoa semoga Allah terima sedekahku dan ampuni kedua orang tuaku serta putri tercintaku yang sudah pergi mendahuluiku kembali kepada Allah.
Sahabat ada kalanya seorang ank lebih jujur dri pada orang dewasa,ajrkan lah ank2 kita dri dini tindakan nyata yg bukan teori semata.
Kisah ini dari hamba Alloh.
Silahkan di share sahabat
SHARE AJA….
Boleh di share biar lebih bermanfaat buat orang banyak,

Kisah ini diriwayatkan oleh Syekh Abu Said Abdullah bin Ahmad Al-Baghdadi. Dalam kisahnya itu, Al-Baghdadi menjelaskan bahwa pernah ada seorang gadis bernama Fatimah yanng usianya baru sekitar enam belas tahun. Saat gadis itu sedang bermain di atas rumah, ia telah diculik oleh jin. Tentu peristiwa ini membuat geger orang-orang sekampung, terutama orang tua bocah perempuan itu.
Sebagai solusinya, maka orang tua gadis tersebut menghadap Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Setelah mengutarakan apa yang terjadi pada beliau, maka Syekh Abdul Qadir memberikan saran kepada orang tua anak tersebut, “Pergilah kalian ke puing reruntuhan biara, duduklah di bukit yang kelima dan tulislah melingkar di atas tanah. Tulis dan lafazkan dalam hati, ‘Bismillah ‘Ala Niyyati Abdul Qadir‘.
Dan di atas niat Syekh Abdul Qadir Jailani “Apabila malam telah gelap, engkau akan didatangi oleh beberapa kumpulan Jin, dengan berbagai-bagai rupa dan bentuk.
Janganlah engkau takut. Apabila waktu hampir terbit fajar, akan datang pula raja Jin dengan segala angkatannya yang besar. Dia akan bertanya hajatmu. Katakan kepadanya, bahwa aku yang telah menyuruhmu datang bertemu dengannya. Kemudian ceritakanlah kepadanya tentang kejadian yang telah menimpa anak Perempuanmu itu.”
Lelaki itu pun pergi ke tempat itu dan melaksanakan arahan Syekh Abdul Qadir Jailani. Beberapa waktu kemudian, datanglah para Jin yang mencobaba menakut-nakutkan lelaki itu, tetapi Jin-Jin itu tidak berkuasa untuk melintasi garis bulatan itu.
Jin-Jin itu datang silih beragnti, hingga akhirnya, datanglah raja Jin yang sedang menunggang seekor kuda dan telah disertai oleh satu angkatan yang besar dan hebat rupanya.
Raja jin itu telah memberhentikan kudanya di luar garis bulatan itu dan bertanya kepada lelaki itu, “Wahai manusia, apakah hajatmu?” Lelaki itu telah menjawab, “Aku disuruh oleh Syekh Abdul Qadir Jailani untuk bertemu denganmu.”
Begitu mendengar nama Syekh Abdul Qadir Jailani diucapkan oleh lelaki itu, raja Jin itu turun dari kudanya dan terus mengucup bumi.
Kemudian Raja Jin itu telah duduk di atas bumi, disertai dengan seluruh anggota rombongannya. Sesudah itu, Raja Jin itu bertanya masalah lelaki itu.
Lelaki itu pun menceritakan kisah anak perempuannya yang telah diculik oleh Jin. Setelah mendengar cerita lelaki itu, Raja Jin itu pun memerintahkan agar dicari si Jin yang bersalah itu. Beberapa waktu kemudian, telah dibawa ke hadapan Raja Jin.
Jin yang bersalah adalah Jin laki-laki dari negara Cina bersama-sama dengan seorang anak perempuan yang telah diculiknya.
Raja Jin itu pun bertanya, “Kenapakah engkau sambar anak manusia ini? Tidakkah engkau tahu, dia ini berada di bawah naungan al-Quthb?”
Jin laki-laki dari negara Cina itu mengatakan, dia telah jatuh cinta dengan anak gadis itu. Raja Jin memerintahkan agar Perempuan itu dipulangkan kepada bapaknya.
Sebagai hukumannya Jin dari negara Cina dikenakan hukuman pancung. Lelaki itu pun mengatakan rasa takjubnya atas segala perbuatan Raja Jin yang sangat patuh kepada Syekh Abdul Qadir Jailani.
Raja Jin itu berkata, “Sudah tentu, karena Syekh Abdul Qadir Jailani dapat melihat dari rumahnya semua kelakuan Jin-Jin yang jahat.
Selain itu, Al-Baghdadi juga bercerita bahwa suatu hari ada seorang laki-laki yang menghadap Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Ketika di hadapan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, laki-laki itu berkata, “Aku ini berasal dari daerah Asbihan. Dan aku mempunyai istri yang selalu menentangku. Bahkan aku pun sudah menasihatinya baik-baik.”
Mendengar keluhan laki-laki soal istrinya itu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pun berkata, “Persoalan yang menimpa istrimu itu disebabkan oleh jin jahat yang berasal dari Lembah Sarandib, namanya Khanis. Jika istrimu menentang lagi, maka ucapkanlah di telinga istrimu itu, ‘Wahai Khanis, Syekh Abdul Qadir yang berada di Baghdad berkata kepadamu, ‘Jika engkau tidak pergi dari jasad orang ini, niscaya engkau akan binasa’.”‘
Setelah itu itu pun pergi. Setelah beberapa tahun, Al-Baghdadi bertemu lagi dengan laki-laki tersebut dan kepada laki-laki ini, Al-Baghdadi menanyakan perihal yang pernah disarankan oleh Syekh Abdul Qadir tersebut, maka laki-laki itu pun menjawab, “Aku melakukan apa yang ia perintahkan. Semenjak itu, istriku tidak pernah menentangku lagi,” jawab laki-laki itu.
AKU MALAS BILA IBU DATANG 😥😥
Selesai sudah masakanku. Oseng ikan asin dan sayur asam adalah nama menunya. Ini akhir bulan. Sisa keringat suamiku harus aku hemat-hemat. Di dalam dompetku ada dua ratus ribu. Biasanya cukup untuk satu Minggu menyambung pada gajian berikutnya.
Kami baru saja selesai makan saat Ibu menelepon.
"Tik, Ibu ini lagi jalan ke rumahmu. Mumpung libur kerjanya. Kamu di rumah, 'kan?" katanya dari seberang.
Aku meneguk ludah.
"Tik! Walah anak ini diajak omong kok malah ngelamun."
"I ... iya. Titik di rumah, Bu. Dua Minggu lalu, 'kan Titik sudah jenguk Ibu. Nginap satu Minggu lagi. Seharusnya, Ibu nggak perlu repot-repot ke mari. Liburan dipakai istirahat saja, 'kan enak," kataku sambil mengetuk-ngetukan jemariku ke meja.
"Bosan, Tik. Sudahlah. Tunggu Ibu, ya? Kamu sudah masak, 'kan? Ibu belum sarapan soalnya."
Aku menghela napas. Melirik ke atas meja lauk-pauk yang cukup untuk makan siang kami.
"Sudah, Bu."
"Alhamdulillah. Yowes, Ibu tutup dulu. Assalamualaikum!"
Ibu menutup telepon lebih dulu.
Suamiku mendengkus. Mungkin dia dengar percakapanku dan Ibu.
"Ibu kamu mau ke sini?"
"Iya, Mas. Sudah di jalan katanya."
"Hm ... kemarin, 'kan kamu dan Jaguar sudah ke sana satu Minggu. Ngapain Ibu ke sini lagi?" tanyanya sambil membaca koran.
"Masih kangen, Mas. Mumpung libur kerjanya." Aku mendekati Mas Leon, duduk di sampingnya.
"Ck!"
Aku menghela napas. Barangkali Mas Leon keberatan Ibu datang karena waktunya tidak tepat. Ini tanggal tua. Apa nanti yang akan kami suguhkan kepada Ibu? Tidak mungkin, 'kan bila ikan asin berturut-turut? Lagi pula, apa nanti kata Ibu bila kami menyajikan makanan tidak enak seperti ini untuknya? Sedangkan yang Ibu tahu, aku ini selalu makan enak. Hidup tidak kekurangan. Tidak pusing memikirkan besok uang cukup untuk beli makan atau tidak. Itu semua karena aku tidak pernah mengeluh padanya.
Aku selalu mengatakan bahwa semua baik-baik saja, padahal suamiku sedang sepi pekerjaannya. Aku sudah makan, padahal hari itu puasa karena beras tinggal satu gelas. Aku makan daging, padahal lauk-pauk yang ada hanya tahu, tempe, dan ikan teri. Lalu ketika Ibu meminta dibelikan gamis untuk bekerja, aku selalu membelikannya tanpa mengatakan bila aku sedang tidak punya uang. Itu pun aku membelinya dengan menyicil ke tetangga. Terkadang aku ingin bekerja saja, tetapi Mas Leon tidak ikhlas bila Jaguar diurus oleh orang lain. Aku maklumi alasannya, karena Jaguar anak spesial. Berdagang online juga tidak memungkinkan karena ponsel kami cuma satu. Biasanya, dibawa Mas Leon ke mana-mana.
Aku baru saja memandikan Jaguar ketika Ibu datang. Kulihat wajahnya begitu bahagia. Mata jelinya berbinar bahagia. Aku pun bahagia melihat Ibu datang. Pelukan, ciuman ia daratkan padaku, dan Jaguar. Meski aku telah berumah tangga dan memiliki anak, bagi Ibu aku tetap anak kecil.
"Duh, gantengnya cucuku. Sudah makan kamu, Nak?" tanyanya pada Jaguar.
"Kami sudah makan, Bu. Ayo Ibu makan dulu. Katanya belum sarapan, to?"
Ibu nyengir. Aku tersenyum melihatnya. Aku dudukkan Jaguar di kursi roda. Anakku itu sudah besar, jadi lumayan berat. Meski begitu, aku tidak merasa bahwa dia benar-benar berat.
"Kok tumben masak ikan asin, Tik?" tanyanya saat aku membuka tudung saji.
"Iya, Bu. Requestnya Mas Leon. Bosan makan ikan, dan daging-dangingan," jawabku tak berani menoleh padanya.
"Oh ... gitu. Yawes nggak apa-apa. Sini buruan, Ibu sudah lapar!"
"Iya. Ibu tunggu di depan saja, ya. Nanti piringnya Titik antar."
"Iya!"
Aku menatap punggung ringkih Ibu dengan mata sayu. Merasa bersalah karena telah berbohong padanya. Namun, aku menikmati kebohongan ini. Setidaknya, Ibu tidak kepikiran tentang nasibku, menantu, dan cucunya.
*
"Enak, Tik. Tambah jago saja kamu masaknya. Ibu nambah, yo?"
Aku tersenyum mengiyakan. Mengambil alih piring Ibu, mengisinya dengan nasi, dan lauk-pauk lagi, lalu memberikannya kepada Ibu.
"Suamimu mana?"
"Di bengkel, Bu."
"Kerjaannya stabil, 'kan?"
"Alhamdulillah stabil, Bu. Setiap hari pasti ada saja pelanggannya. Berkat do'a Ibu ini." Aku mencolek pipi halus Ibu, menggodanya yang sedang menguyah.
"Juga karena kamu ini anak berbakti, jadi Allah sayang sama kamu, cukupkan rezeki kamu. Keren kamu, Tik!"
Oh Ibu ... anak berbakti ini yang selalu membohongimu, Bu.
*
Aku membuka rice cooker nasi tinggal satu piring. Inisiatif aku mencuci beras lagi, memasaknya jadi nasi. Tidak pusing aku masalah pernasian, yang kupikirkan sekarang adalah lauknya.
"Tik!" tegur Ibu ketika aku melamun di ruang makan.
"Dalem, Bu? Ibu sudah bangun? Ibu lapar, nggak? Mau makan siang?" tanyaku.
"Nggak! Ibu masih kenyang. Kamu nggak ngirim Leon makan siang?"
Aku tersentak. Aku kelupaan.
"Astaghfirullah! Aku kelupaan, Bu. Sebentar, ya, Bu. Aku siap-siap dulu."
Buru-buru aku menyiapkan makan siang Mas Leon. Memasukkan sisa nasi satu piring tadi ke kotak bekal, menuangkan ikan asin yang tinggal beberapa biji, lalu sayur asam ke dalam plastik.
"Aku pergi dulu, Bu. Nitip Jaguar, ya!"
"Iya, hati-hati."
*
Cuaca panas sekali hari ini. Meski begitu, aku tetap mengayuh sepedaku ke bengkel tempat Mas Leon bekerja. Dia sedang memperbaiki sebuah motor. Bajunya hitam semua, wajahnya kusam, dan keringatnya mengalir deras. Tangan kokohnya cekatan memutar roda motor itu.
"Mas!" panggilku.
Mas Leon menoleh. Sedikit senyum ia sunggingkan. Jelas sekali dia sedang marah karena aku terlambat mengirim makan.
"Letakkan di sana saja, Dik. Mas masih sibuk," katanya melanjutkan pekerjaan.
"Maaf telat ngirimnya ya, Mas. Segera di makan, takut nanti nasinya dingin."
"Hm ...," jawabnya singkat tak mengacuhkan ku.
"Aku pergi. Assalamualaikum."
Aku kembali mengayuh sepedaku setelah jawaban salamnya. Aku melihat pedagang es campur. Pasti Ibu senang bila aku membelikannya satu bungkus.
"Satu, ya, Bang."
"Baik, Bu."
Tak sampai lima menit aku menunggu, es campur itu telah siap aku bawa pulang.
"Berapa, Bang?"
"Delapan ribu, Bu."
Aku menyerahkan uang pas. Kukayuh lagi sepeda dengan lebih semangat. Bayangan Ibu menikmati es campur terputar sepanjang perjalanan.
*
Aku memarkir sepeda. Kulihat Ibu menyuapi Jaguar makan. Aku terkejut karena Ibu menyuapi Jaguar dengan sup buntut.
"Ibu beli?"
"Nggak. Dikasih tadi sama Mirna. Katanya, dia masak kebanyakan."
Dahiku mengernyit. Mirna, tetanggaku sama sepertiku. Kami hidup dengan sederhana. Jelas perkataan Ibu tidak masuk ke dalam otakku.
"Kamu makan, sana! Dikasih banyak sama Mirna. Ibu juga sudah makan. Iya, 'kan, Jaguar?"
Jaguar mengangguk. Aku tidak ambil pusing lagi perihal sup buntut. Selain karena tidak suka berdebat, aku juga sudah lapar.
*
"Wah es campur! Enak ini!" pekik Ibu antusias ketika aku menghidangkan es campur padanya.
"Enak, Bu. Es campur ini terkenal sekali di sini. Ibu harus coba," kataku menyuapkan satu sendok untuk Ibu.
Tangan Jaguar bergerak-gerak. Rupanya, anak tampanku itu ingin es campur juga.
"Nenek siapin, nih. Hm ... enak, to?"
Jaguar mengangguk sambil tersenyum.
"Pintar sekali cucuku ini."
Aku tersenyum.
"Ibu rencana pulang kapan?" tanyaku.
"Dua hari lagi. Boleh, ya?"
"Boleh dong, Bu. Titik senang Ibu datang mengunjungi kami," kataku.
Jujur saja, didatangi orang tua itu seperti oase di gurun pasir. Rasanya hari-hari berat tidak terasa karena senyum mereka seperti obat.
*
Mas Leon pulang sedikit lebih malam dari biasa. Mas Leon menghampiri Ibu yang kebetulan masih terjaga di depan TV. Di tangan Mas Leon tergantung satu kantung plasti.
"Assalamualaikum, Bu. Maaf Leon harus lembur. Ini Leon bawakan terang bulan kesukaan Ibu," katanya menyalami Ibu lalu meletakkan kantung plastik itu di atas meja. Mas Leon memintaku mengambilkan piring. Tentu langsung aku turuti. Ku lirik kardus kemasan terang bilang itu. Rupanya, terang bulan yang sedang hits saat ini. Satu loyang dengan kombinasi dua rasa saja harganya di atas dua puluh ribu. Sepadan sekali dengan rasanya yang enak.
Ibu sumringah. Ibu dan makanan manis itu seperti gagang dan pintu, tidak terpisahkan. Tak henti-hentinya aku berterimakasih kepada Mas Leon karena telah berbaik hati kepada Ibu. Membawakan makanan kesukaan Ibu. Mas Leon tersenyum. Meski begitu, aku tahu kepalanya pusing mengingat bertambahnya pengeluaran hari ini. Namun, dia sungguh baik kepada Ibu. Mulutnya boleh saja keberatan, tapi hatinya tak tega bila menolak Ibu.
*
Dua hari berlalu. Dalam dua hari itu aku selalu memberikan yang terbaik untuknya. Rendang daging sapi di hari pertama, dan gurame bakar di hari selanjutnya.
"Ibu pulang dulu. Kamu hati-hati di rumah, jagain Jaguar. Jangan telat makan." Ibu menasihatiku dengan berkaca-kaca. Mungkin, ia masih berat meninggalkan kami.
"Iya, Bu. Ibu juga jaga kesehatan, jangan telat makan. Vitaminnya juga diminum rutin, ya, Bu," pesanku menyinggung vitamin yang setiap bulan aku kirimkan untuknya.
Ibu mengangguk, menyeka sudut matanya, lalu naik ke atas motor Mas Leon.
"Assalamualaikum!"
"Wa'allaikumsallam."
Aku menghela napas berat. Jujur saja, aku juga berat melihat Ibu pergi. Ku lihat lagi dompet di atas meja. Sisa tujuh puluh lima ribu. Helaan napas ku semakin berat saja.
*
Siang harinya Mirna menyapa ku yang sedang menyuapi Jaguar makan.
"Sudah pulang Ibumu, Tik?"
"Sudah, Mir. Omong-omong, terimakasih ya sup buntutnya."
Mirna mengangkat sebelah alis.
"Aku yang harusnya terimakasih, Tik. Ibumu itu baik sekali sudah membelikanku sup buntut."
Deg!!!
Aku tertegun.
"Dia juga belikan Surya es krim satu tepak."
"Kamu bertemu Ibu di mana?"
"Di warung Bu Hamidah. Kami bercerita-cerita sedikit. Semoga Ibumu sehat selalu, Tik. Orang seperti beliaulah yang selalu membuatku iri. Aku pergi dulu."
Aku masih tertegun, lambat mencerna perkataan Mirna.
*
Aku menunggu Mas Leon pulang untuk meminjam ponselnya. Mau menanyakan pada Ibu kebenarannya. Tadi, saat Mirna mengatakan warung Bu Hamidah, aku langsung teringat sesuatu.
"Sudah lunas semua, Tik. Ibumu yang bayar." Begitulah kata Bu Hamidah saat kutanya perihal hutangku. Aku menangis begitu saja. Ibuku itu ...
Sambil menunggu, aku bersihkan kamar yang semalam Ibu tempati. Air mata masih tak bisa berhenti.
Aku terkejut sekali lagi, menangis semakin jadi, ketika bantal bekas ia tidur aku angkat. Sepuluh lembar uang seratus ribu yang di satukan dengan streples tergeletak begitu saja. Di sana ada tulisan.
"Terimakasih sudah memberikan yang terbaik untuk Ibu. Sungguh Allah teramat baik hati menjadikanmu anakku. Sedikit tanda cinta Ibu berikan.
Untuk anak Ibu yang selalu berbohong. Namun, Ibu begitu bangga karenanya. Sehat-sehat anakku, menantuku, cucuku."
____
Tamat
by;Ilham AKbar, S.Q. S.Pd
Di sinilah aku pertama kali melihat dunia. Tanah kelahiran yang sederhana namun penuh makna. Di bumi ini aku ditimang, dibesarkan, dan didid...